Kamis, 05 Januari 2012

Tukang Bangunan dan Arsitek




Seorang tukang bangunan pernah membuatkan saya sebuah mainan garpu-garpuan dari kayu sisa material untuk membuat plafond rumah. Itu terjadi beberapa tahun lalu, ketika saya masih SD, ketika saya tak memiliki bayangan untuk menjadi arsitek.

Tukang tersebut saya kenal hingga kini karena ia adalah tukang keluarga saya. Seiring waktu, saya yang dulu adalah anak ingusan sekarang telah menjalani karir sebagai arsitek ingusan. Saya yang dulu main pasir material proyek, kotor-kotor, sambil menarik mainan truk berisi batu-batuan, dan terkadang terkagum-kagum melihat akrobat para tukang berjalan di ketinggian tanpa pengaman, sekarang tak lagi berkotor-kotor di atas pasir untuk bermain truk-trukan. Tetapi tukang tadi tetap berpanas-panas mengaduk semen, memotong kayu atau becek-becekan mengeruk lumpur. Tukang tetap selalu bersahaja tanpa pernah menerima penghargaan apapun dan namanya tak akan pernah muncul di majalah-majalah mahal.

Saya teringat beberapa saat lalu, milis arsitek di Indonesia menjadi panas gara-gara muncul sebuah buku berjudul "Menjadi Arsitek Semudah Membalik Telapak Tangan" yang di tulis oleh orang yang tak pernah mengenyam pendidikan arsitektur sama sekali. Banyak arsitek marah, merasa dilangkahi kehormatannya, sebagian merasa takut karena buku tersebut memprovokasi masyarakat untuk tidak menggunakan jasa arsitek. Para arsitek tersebut takut kehilangan uang.

Di lain cerita, seorang teman saya yang juga seorang arsitek merasa panik dan aktif di milis menyuarakan undang-undang arsitek yang tak kunjung disahkan negara. Ia takut sebagai lulusan PPArs dan S2, yang tentunya sudah menghabiskan uang banyak untuk pendidikannya yang tinggi itu, ia tak bisa mendapatkan uang yang banyak ketika berprofesi sebagai arsitek kelak jika Undang-undang Arsitek tak juga disahkan.

Entah kenapa saya selalu teringat kata-kata tukang saya waktu SD dulu. Ketika saya main mobil-mobilan di pasir, dia sedang makan siang sambil ngobrol dengan saya yang sedang main.

"Dek, boleh minta mobilnya satu" sambil menunjuk salah satu mobil truk saya  yang paling kecil dan jelek menurut saya.

"Buat apa?", tanya saya.

"Buat hadiah anak Om"

Entahlah, saat itu saya masih terlalu kecil untuk mengerti. Makanya mainan itu tak pernah saya berikan.

Published with Blogger-droid v2.0.2

Tidak ada komentar: