Rabu, 07 Agustus 2013

Trotoar Licin

Trotoar di Klaten ini cantik berwarna warni, sayang materialnya dari keramik licin. Tak terbayang betapa susahnya jalan disitu ketika basah setelah hujan. Satu-satunya cara teraman adalah jalan melalui jalur kuning (jalur tunanetra). Menjadi cantik itu kadang menyakitkan.

Senin, 05 Agustus 2013

Perjalanan Sejarah di Cikini

Siang itu, saya dan kawan saya mendatangi Gedung Juang 45 di kawasan Menteng Raya Jakarta. Kedatangan kami untuk menghadiri acara yang rutin diadakan oleh Komunitas Historia Indonesia, yaitu acara mengunjungi tempat- tempat bersejarah.

Sesuai namanya, Komunitas Historia Indonesia adalah sebuah perkumpulan nirlaba yang bergerak dibidang sejarah, kebudayaan dan pendidikan. Disinilah tempat berkumpulnya orang-orang yang mencintai sejarah Indonesia dari berbagai kalangan. Anggotanya tidak melulu berlatar belakang sejarah atau arkeologi.

Hari itu di bulan Agustus 2013, Komunitas Historia Indonesia mengadakan jalan-jalan sejarah ke kawasan Cikin Jakarta. Acara diberi judul "Jakarta Heritage Trail: Ngaboeboerit ke Tjikini". Bulan Ramadhan dimana umat Islam berpuasa tak menghalangi peserta, yang sebagian besar muslim mengikuti kegiatan yang mengharuskan kita berjalan kaki sejauh sekitar 1,5 kilometer disore hari menyusuri tempat-tempat bersejarah di kawasan Cikini, Jakarta. Karena itulah kenapa acara ini disebut ngabuburit (menghabiskan waktu menunggu waktu berbuka puasa).

Cikini

Sejarah Cikini tak lepas dari sejarah perkembangan perumahan masa kolonial Belanda di Hindia Belanda. Tahun 1920, pemerintah Hindia Belanda merasa perlu membuat perumahan baru untuk warga Eropa dan warga pribumi kelas menengah atas.

Dipilihlah kawasan menteng yang letaknya di selatan benteng kota Batavia. Dari sinilah dimulai bahwa Batavia, cikal bakal kota Jakarta, berkembang ke arah selatan. Karena kawasan perumahan Menteng ditujukan untuk golongan menengah atas, maka kawasan ini dirancang dengan sebaik-baiknya menggunakan tim ahli dari Belanda yang dipimpin oleh arsitek P.A.J. Mooijen. Untuk pertama kalinya pula Peraturan Tata Bangunan Kota yang pertama (Bataviasche Bouwverordening,1919) diterapkan.

Jika ada pemukiman, tentu ada fasilitas umum. Kawasan Cikini waktu itu difungsikan sebagai area fasilitas umum bagi perumahan Menteng. Maka tak heran kawasan Cikini waktu itu tumbuh sebagai area komersial dan bangunan publik dimana banyak terdapat rumah makan, sekolah, kantor pos, pertokoan dan bangunan publik lainnya.

Kawasan Cikini adalah penyokong Kawasan pemukiman Menteng. Oleh karena itu di Cikini banyak sekali sejarah-sejarah Indonesia yang terekam.

Gedung Juang 45

Persinggahan pertama tur ini adalah gedung juang 45. Bangunan ini saat ini difungsikan sebagai museum sejarah perjuangan Indonesia era jepang dan agresi militer. Terlepas dari penataan interior bangunan ini yang terkesan membosankan dan ketinggalan jaman, bangunan ini masih cukup cantik jika dilihat dari jalan. Gedung juang dibangun tahun 1920an. Awalnya adalah sebuah hotel yang dikelola oleh keluarga L.C. Schomper. tahun 1920, Batavia sudah berkembang ke selatan. Sebagai salah satu kota penting di kawasan Hindia Belanda, perekonomian Batavia berkembang dan menjadikan Batavia sebagai kota yang ramai dikunjungi pelancong, entah itu untuk urusan bisnis atau urusan lainnya. Peluang inilah yang diambil oleh keluarga Schomper untuk mendirikan hotel di kawasan Menteng. Maka jadilah Hotel Schomper. Tidak begitu jelas hotel bintang berapa.

Jaman pemerintahan Jepang (1942-1945), gedung ini digunakan sebagai kantor Ganseikanbu Sendenbu (Jawatan Propaganda Jepang). Tidak jelas pula apakah gedung ini direbut paksa atau melalui perjanjian jual beli. Dijaman itu gedung ini mulai digunakan sebagai tempat berlangsungnya pendidikan politik bagi rakyat. Peninggalan jaman Jepang yang dipajang di museum Gedung Juang 45 adalah poster-poster propaganda Jepang. Menurut saya ini adalah hal yang paling menarik di museum ini. Mungkin karena saya berkecimpung di dunia desain, jadi hal-hal yang berbau grafis langsung menarik mata. Poster propaganda Jepang ini rasanya begitu penting dalam sejarah desain grafis di Indonesia.

Toko dan Pabrik Roti Tan Ek Tjoan

Bermula dari tahun 1921, seorang Cina di Bogor merintis usaha roti yang kini melegenda di Jakarta. Tan Ek Tjoan melihat pasar bahwa kebiasaan orang Eropa yang mengkonsumsi roti dalam kehidupan sehari-hari, maka ia membuat roti untuk kalangan eropa. Resep dan rasanya tentu saja disesuaikan dengan lidah Eropa. Roti buatan Tan Ek Tjoan pun laris dikalangan warga Eropa di Hindia Belanda. Kemudian Tan Ek Tjoan membuka pabrik dan tokonya di kawasan cikini untuk mendekatkan diri dengan pemukiman Eropa di Menteng. Toko dan pabrik roti ini masih bisa dikunjungi hingga saat ini. Walau kini usaha roti Tan Ek Tjoan sudah diturunkan ke generasi ketiga dan Belanda sudah tidak lagi menguasai berkoloni di Hindia Belanda/Indonesia, tetapi roti ini tetap memiliki penggemarnya sendiri. Ditengah persaingan usaha roti yang semakin menjamur, roti Tan Ek Tjoan tetap mempertahankan orisinalitasnya. Beruntung saya bisa mengunjungi toko dan pabriknya yang legendaris. Sayang waktu itu kegiatan produksi di pabriknya sedang tidak ada. Jadi saya hanya melihat mesin-mesinnya saja.

Menurut karyawan Tan Ek Tjoan, masih banyak pelanggan yang memilih membeli langsung ke sini walau roti Tan Ek Tjoan sekarang bisa didapatkan di mana-mana. Ada yang ingin bernostalgia.

Rumah Raden Saleh

Dari sekian tempat yang kami kunjungi, menurut saya rumah raden saleh yang paling saya tunggu. Raden Saleh adalah pelukis Indonesia yang paling fenomenal. Dia pelukis langganan kaum kerajaan dan ningrat Eropa.

Raden saleh lahir dan dibesarkan di jawa, Hindia Belanda, tetapi kemudian hijrah ke Jerman dan Belanda untuk melanjutkan pendidikan melukisnya. Lama hidup di Eropa dan bergaul dengan orang-orang Eropa membuat gaya hidup dan selera Raden Saleh yang kebarat-baratan. Hal ini bisa dilihat dari rumah yang ia bangun di Batavia sekembalinya dari berkelana di Eropa sekian tahun. Karena memiliki langganan kaum atas, tak heran Raden Saleh memiliki kekayaan yang berlimpah.

Kembali ke Batavia, diapun membeli tanah yang luas di kawasan Cikini. Dia membangun rumah bergaya Eropa yang ia desain sendiri. Saya selalu membayangkan bahwa kehidupan sosial Raden Saleh itu seperti tokoh Minke di buku Anak Semua Bangsa karya Pramudya Ananta Toer. Seorang manusia pribumi yang modern, jauh dari gaya tradisional. Pertama memasuki rumah Raden Saleh, kami disambut oleh ruang tengah yang luas dan tinggi. Lengkap dengan pintu-pintu dan tangga di sekeliling ruangan. Saya merasakan suasana film The Sound of Music, ruang tengah tempat anak-anak keluarga Trapp bernyanyi.

"So long, farewell
Auf Wiedersehen, adieu
Adieu, adieu
To you and you and you"

Ah indahnya membayangkan suasana itu. Ditambah lagi dengan luasnya halaman rumah yang saya bayangkan bersuasana hijau teduh pepohonan. Plus kota kawasan Cikini yang saat itu belum sepadat saat ini.

Sayang saat ini kondisi rumah raden saleh agak memprihatinkan. Walau tetap dipelihara dengan baik oleh pemilik saat ini yaitu Rumah Sakit PGI Cikini, tetapi auranya sudah berbeda dan agak sedikit berantakan.
Saat ini rumah Raden Saleh dijadikan ruang dokter. Saya berharap jika rumah Raden Saleh dijadikan ruang yang lebih bersinggungan dengan masyarakat dan pasien. Misalnya museum, galeri seni atau ruang komunitas. Tentu lebih mendekatkan rasa seni dan sejarah ke masyarakat, khususnya ke pasien dan pengunjung rumah sakit. Suasana runah sakit bisa lebih hidup, syukur membantu proses pengobatan.

Sebenarnya ada beberapa tempat lagi yang dikunjungi, tetapi saya hanya menceritakan yang menarik di hati saja.

Sejarah memang tak pantas untuk diluang, tapi tak lantas dilupakan begitu saja.

(catatan: foto masih dalam tahap editing. Menyusul)