Jumat, 06 Juli 2012

Rem Koolhaas dan Dunia Akademis Arsitektur Indonesia


Sekitar tiga setengah tahun lalu, ketika saya duduk ditahun pertama di sekolah arsitektur di Surabaya prinsip-prinsip order dari arsitektur klasik yang digunakan seperti unity, harmony, dan balance untuk menghasilkan produk yang estetis. Hal ini seolah menjadi pegangan utama dalam studio perancangan arsitektur.
Masalah mulai timbul ketika mahasiswa mulai terjebak dengan pemahaman yang setengah-tengah. Keterbukaan arus informasi tak begitu dimanfaatkan untuk memperdalam prinsip-prinsip desain yang diajarkan. Keterbatasan kosa kata desain dan pemahaman makna estetika membuat kebanyakan mahasiswa hanya berkutat pada konsep desain yang terkesan dipaksakan, tanpa ada argumen yang kuat akan desainnya.
Tidak jelas apakah saat ini terjadi ketidakserasian antara kuliah asas dan metodelogi perancangan yang diberikan di sekolah arsitektur saya dengan preseden yang diangkat mahasiswa di studio perancangan yang menghasilkan pemikiran-pemikiran mahasiswa yang tanggung. Kebanyakan mahasiswa, termasuk saya, pada akhirnya terjebak dalam mata rantai kebingungan. Asas dan metodelogi perancangan yang berjalan lambat dan tertinggal jaman disandingkan dengan preseden arsitektur-arsitektur top dunia yang selalu berkembang pesat. Mahasiswa berada pada perangkap keseragaman konsep yang terorganisir dengan aturan-aturan bakunya, berorientasi pasar, pengikut tren belaka dan pemaknaan-pemaknaan yang dipaksakan.

Rem Koolhaas dan OMA-nya, beserta beberapa jebolan OMA seperti Gigon Guyer, Bjarke Ingels, Sauerbruch & Huton, Winy Maas dan Jacob van Rijs menjadi favorit di sekolah saya. Berawal dari kepopuleran nama OMA dan keterputusasaan saya di studio perancangan, saya mulai berkenalan lebih jauh dengan Rem Koolhaas melalui buku-buku perpustakaan dan internet.
Saya bukan mahasiswa cerdas yang mampu mencerna tulisan-tulisan Rem Koolhaas atau menghayati video-video ceramahnya diinternet dalam sekejap. Butuh proses yang sampai saat ini pun belum selesai untuk menghayatinya. Koolhas tak menempatkan estetika dalam prioritas utama ketika ia berasritektur. Tentu hal ini amat membingungkan saya. Ia seolah mencari kebenaran yang diolah melalui program dan konsep. Estetika diatasi melalui program dan konsep.
Saya kembali kepada tugas studio saya di sekolah arsitektur, menguraikan kembali kerangka-kerangka estetetika. Seakan merasa dunia tak adil bahwa karya arsitektur Rem Koolhaas yang jika ditilik dalam kerangka-kerangka arsitektur, tak bisa diterima oleh hukum estetika itu tadi. Tak adilnya Rem Koolhaas justru dikenal dan diakui dunia sebagai arsitektur top.

Untuk menikmati arsitektur Rem koolhaas sepertinya saya harus mengeluarkan seluruh isi otak saya ke atas meja, memilahnya dan membuang jauh-jauh konsep estetika lama yang diajarkan di sekolah saya dan mendekam terlalu lama diotak. Setelah otak saya kosong dari teori estetika itu, barulah indra saya boleh merasakan arsitektur Rem Koolhaas yang ternyata menakjubkan, entah itu karena proporsinya, materialnya atau bentuknya yang tak logis.
Sampai sejauh ini mahasiswa terkesan menjauhi data-data, entah itu berupa diagram, grafik atau hal lainnya. Seharusnya dengan mengambil preseden karya-karya Rem Koolhaas, data dan diagram menjadi hal yang penting. Data dan diagram memberikan kesempatan kepada mahasiswa menjadikan arsitekturnya unik, karena memang sesungguhnya tak pernah ada arsitektur yanng identik sama. Teknik ini juga memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk mengeksplorasikan konsepnya dan kegiatan studio menjadi lebih menarik (process-oriented). Hal ini seperti yang diyakini oleh Rem Koolhaas bahwa proses itu di atas segalanya bagi arsitek.
Diagram harusnya mampu membangkitakan ide dan menghasilkan inspirasi yang baik. Pendekatan seperti ini mungkin terdengar terlalu mekanik, tetapi mungkin mampu menghasilkan konsep yang lebih rasional dibandingkan metode metafora yang banyak dipakai mahasiswa.
Arsitektur Koolhaas dikatakan berhasil dengan menggunakan teropong konsep dan program, tentu tak lepas dari diagram-diagram. Aktivitas seharusnya diatur dan itu terjadi.
Kunsthal adalah karya Rem Koolhaas yang sederhana dan kurang populer di kalangan mahasiswa jika dibandingkan CCTV. Dibalik kesederhanaannya sarat akan program. Sebagai bangunan tempat pameran seni tak menjadikan Koolhaas membuatnya menjadi heboh seperti yang dilakukan Frank Gehry, Frank Lloyd dan arsitek-arsitek lainnya pada proyek bangunan seni. Ruang dan aktivitas terlihat tepat dengan pola pergerakan dari taman membelah bangunan melalui ramp dan menciptakan kantong-kantong aktivitas yang aktif pada bangunan itu sendiri. Selain konsep continous circuit, tentu signange-nya yang menarik perhatianlah yang menarik dari bangunan ini. Itu luar biasanya Koolhaas, detail yang sering terlupakan mahasiswa seperti signage pun diperhatikan. Dengan melihat apa yang Koolhaas lakukan pada Kunsthal seharusnya mampu memperkaya mahasiswa dalam proses desain.

Saya tak yakin dengan pernah tinggalnya Rem Koolhaas di Indonesia membawa pengaruh yang besar bagi pemikiran arsitekturnya. Rem Koolhaas jelas merupakan produk arsitektur barat dengan pola pikir baratnya, walaupun beberapa proyeknya dilakukan di Asia. Menjadi pertanyaan besar adalah pantaskah pemikiran Rem Koolhaas disebarkan begitu saja kepada mahasiswa-mahasiswa Indonesia.

Kita memiliki kekayaan arsitektur dari nenek moyang. Arsitektur nusantara namanya. Produk kita adalah arsitektur kayu, jauh berbeda dengan nenek moyang Rem Koolhaas yang memiliki produk arsitektur batu.
Di salah satu kuliah umumnya, Profesor Josef Prijotomo mengatakan bahwa arsitektur tradisional telah mati dan tak perlu dibangkitkan kembali. Kita hidup di jaman baru yang seharusnya tak mengkotak-kotakkan sesuatu menurut teritori polistis dan penamaan belaka. Tak ada yang melarang rumah Gadang di bangun di Papua dan rumah Bali di bangun di Madura. Tak ada yang melarang bahwa rumah Joglo diberi ukiran batik khas Dayak. Lalu kenapa kita harus takut jika pemikiran Rem Koolhaas masuk dan meracuni para mahasiswa arsitektur Indonesia. Ini sama seperti kenapa para mahasiswa arsitektur terlena dengan pemikiran Vitruvius padahal kalau mau kita memiliki Wastu Citra.
Pada akhirnya kehadiran Rem Koolhaas patut disikapi serius di dunia akademis. Terlepas dari apakah yang dilakukan oleh Rem Koolhaas adalah yang terbaik bagi dunia arsitektur tak terlalu menjadi soal. Bukankah arsitektur itu sendiri sangat dinamis, dimana pembaruan akan selalu hadir.

*) Diambil dari majalah jongArsitek! edisi 4.11