Sabtu, 27 November 2010

Ruang Sisa Surabaya




Surabaya belum ramah kepada warganya.

Siang panas, beberapa meter dari Tugu Pahlawan, hiduplah perkampungan miskin di pinggir rel kereta. Mereka adalah saksi panasnya Surabaya. Sanitasi dan kesehatan ada di tangan Tuhan, begitu pikiran mereka. Rel kereta adalah ruang publik, tempat berkumpul, bergosip, bermain petak umpet dan menjemur nasi sisa. Rel kereta, mungkin dalam pemikiran dekonstruktifisme, adalah ruang yang terbaurkan fungsi dan batasan ruangnya. Saling mengisi antara jalan kereta api dan halaman rumah. Semua melebur ditengah kesemrawutan. Tiap anak terdidik dari bahaya yang mengancam oleh tertabrak kereta api. Inikah Surabaya? Kita mengais ruang sisa, mencari habitat di sisa-sisa peradaban industri dan moderenitas. Atau ruang sisa itu sendiri adalah peradaban baru?