Senin, 30 Desember 2013

Cerita dari Perjalanan

Tiap perjalanan selalu mendatangkan kenalan baru dan cerita baru. Rasanya ketika kita duduk di dalam kereta atau bus, saling berbagi cerita dengan orang yang baru kita kenal yang duduk di sebelah kita, pemandangan di luar jendela menjadi sekedar pemandangan latar saja. Cerita di dalam kereta atau bus jauh lebih menyenangkan, asal mendapat kenalan yang menyenagkan pula.

Orang berkata, mendaki gununglah, kau akan mendapatkan sifat asli manusia. Boleh lah saya juga berkata, berjalanlah yang jauh, kau akan mendapatkan cerita asli manusia.

Saya sering melakukan jalan darat di atas 10 jam menggunakan kereta atau bus. Dari kelas ekonomi yang busuk sampai kelas eksekutif yang isinya orang-orang berlaptop dan ber-iPad.

Dalam suatu perjalanan kereta kelas eksekutif terbaik di Indonesia, saya berbagi cerita dengan ibu-ibu berpendindikan yang selalu menyombongkan gelar anak-anaknya yang panjang-panjang dari berbagai universitas dalam dan luar negeri. Kesembongan memang sifat dasar manusia, tetapi saya mengambil positifnya dari cerita ibu tadi. Saya termotivasi untuk lebih banyak belajar agar bisa sepintar keluarga ibu tadi.

Dilain hari, saya hanya naik kereta ekonomi yang sempit dan panas. Belum lagi ditambah kereta yang lebih sering berhenti di persimpangan rel karena kereta ekonomi harus mengalah dari kereta eksekutif yang melintas. Otomatis berdampak pada semakin lamanya jarak tempuh. Dari yang seharusnya 11 jam menjadi 14 jam. Di situ saya berkenalan dengan bapak 40 tahunan yang baru menikah sekitar 5 tahun lalu dan usianya dengan usia anaknya terpaut jauh. Bapak ini bersahaja dan pemikirannya terlalu naif bagi saya. Tetapi dia baik. Di sebrang saya duduk dua orang adik kakak dari desa di pulau jawa. Si kakak baru menikah setahun dan baru memiliki bayi. Cerita pun bergulir seputar keluarga dan pernikahan. Walau secara wawasan, mereka (maaf) tak terlalu luas, tipikal orang desa yang bersahaja, tetapi saya tetap menikmati. Saya pun harus memilih kata - kata dan topik yang tepat agar tak terlalu tinggi bagi mereka. Saya memposisikan diri sebagai orang desa juga. Disanalah percakapan berjalan seru. Saat jam makan malam, kami berbagi makanan. dua kakak beradik membawa bekal banyak dan dibagi-bagikan. Si bapak telat nikah membeli dua botol Aqua besar. Katanya Aqua terenak adalah Aqua yang berasal dari mata air Pandaan. Yah orang desa, saya makljm saja walau dalam hati saya mau mendebat. Tetapi hati yang lain berkata untuk mengangguk setuju saja. Toh kita harus tahu dimana kita harus berdebat dan merasa sok pintar, dimana kita merendah dan menganggap orang lain pintar. Setelah lelah bercerita, kami pun tidur. Namun agar bisa tidur dengan nyaman di bangku kereta ekonomi yang sempit dan keras, kami berbagi tempat. Artinya harus ada yang mengalah untuk berdiri. Kami pun tidur bergantian. Berdiri juga gantian. Kebersamaan ini benar - benar tak bisa saya lupakan walau saya tak mengenal mereka sama sekali. Juga cerita - cerita yang berhasil menghapus kebosanan di perjalanan panjang.

Pernah pula di bus bertemu bapak-bapak yang begitu bahagianya baru pulang dari Hongkong. Itu perjalanan pertamanya keluar negeri. Rasanya dia tak sabar untuk sampai di desanya dan bercefita tentang perjalanannya.

Baru-baru ini saya berkenalan dengan seorang mamah muda, yang ternyata dia satu SMA dengan saya. Tetapi ketika SMA, saya merasa tak pernah melihat dia. Dia bercerita tentang kerasnya hidup di Jakarta, tentang orang-orang Wonosobo, tentang harapan dan cita-citanya, bahkan (lagi-lagi) tentang keluarga dan  pernikahan. Dia cukup terbuka tentang perceraiannya dan perjuangannya sebagai single parent. Saya rasa ini seperti sesi berbagi cerita di kelas bimbingan konseling.

Waktu SMA, saya suka sekali dengan novel Roy karya Golagong. Dari situ saya terinspirasi untuk berjalan jauh, berbagi cerita dengan banyak orang, pulang dengan bahagia. Perjalanan saya memang tak semenantang novel Golagong, tetapi setidaknya saya mendapatkan banyak cerita dari jalanan. Dan akan saya kejar terus cerita itu sampai saya merasa cukup.

Rabu, 07 Agustus 2013

Trotoar Licin

Trotoar di Klaten ini cantik berwarna warni, sayang materialnya dari keramik licin. Tak terbayang betapa susahnya jalan disitu ketika basah setelah hujan. Satu-satunya cara teraman adalah jalan melalui jalur kuning (jalur tunanetra). Menjadi cantik itu kadang menyakitkan.

Senin, 05 Agustus 2013

Perjalanan Sejarah di Cikini

Siang itu, saya dan kawan saya mendatangi Gedung Juang 45 di kawasan Menteng Raya Jakarta. Kedatangan kami untuk menghadiri acara yang rutin diadakan oleh Komunitas Historia Indonesia, yaitu acara mengunjungi tempat- tempat bersejarah.

Sesuai namanya, Komunitas Historia Indonesia adalah sebuah perkumpulan nirlaba yang bergerak dibidang sejarah, kebudayaan dan pendidikan. Disinilah tempat berkumpulnya orang-orang yang mencintai sejarah Indonesia dari berbagai kalangan. Anggotanya tidak melulu berlatar belakang sejarah atau arkeologi.

Hari itu di bulan Agustus 2013, Komunitas Historia Indonesia mengadakan jalan-jalan sejarah ke kawasan Cikin Jakarta. Acara diberi judul "Jakarta Heritage Trail: Ngaboeboerit ke Tjikini". Bulan Ramadhan dimana umat Islam berpuasa tak menghalangi peserta, yang sebagian besar muslim mengikuti kegiatan yang mengharuskan kita berjalan kaki sejauh sekitar 1,5 kilometer disore hari menyusuri tempat-tempat bersejarah di kawasan Cikini, Jakarta. Karena itulah kenapa acara ini disebut ngabuburit (menghabiskan waktu menunggu waktu berbuka puasa).

Cikini

Sejarah Cikini tak lepas dari sejarah perkembangan perumahan masa kolonial Belanda di Hindia Belanda. Tahun 1920, pemerintah Hindia Belanda merasa perlu membuat perumahan baru untuk warga Eropa dan warga pribumi kelas menengah atas.

Dipilihlah kawasan menteng yang letaknya di selatan benteng kota Batavia. Dari sinilah dimulai bahwa Batavia, cikal bakal kota Jakarta, berkembang ke arah selatan. Karena kawasan perumahan Menteng ditujukan untuk golongan menengah atas, maka kawasan ini dirancang dengan sebaik-baiknya menggunakan tim ahli dari Belanda yang dipimpin oleh arsitek P.A.J. Mooijen. Untuk pertama kalinya pula Peraturan Tata Bangunan Kota yang pertama (Bataviasche Bouwverordening,1919) diterapkan.

Jika ada pemukiman, tentu ada fasilitas umum. Kawasan Cikini waktu itu difungsikan sebagai area fasilitas umum bagi perumahan Menteng. Maka tak heran kawasan Cikini waktu itu tumbuh sebagai area komersial dan bangunan publik dimana banyak terdapat rumah makan, sekolah, kantor pos, pertokoan dan bangunan publik lainnya.

Kawasan Cikini adalah penyokong Kawasan pemukiman Menteng. Oleh karena itu di Cikini banyak sekali sejarah-sejarah Indonesia yang terekam.

Gedung Juang 45

Persinggahan pertama tur ini adalah gedung juang 45. Bangunan ini saat ini difungsikan sebagai museum sejarah perjuangan Indonesia era jepang dan agresi militer. Terlepas dari penataan interior bangunan ini yang terkesan membosankan dan ketinggalan jaman, bangunan ini masih cukup cantik jika dilihat dari jalan. Gedung juang dibangun tahun 1920an. Awalnya adalah sebuah hotel yang dikelola oleh keluarga L.C. Schomper. tahun 1920, Batavia sudah berkembang ke selatan. Sebagai salah satu kota penting di kawasan Hindia Belanda, perekonomian Batavia berkembang dan menjadikan Batavia sebagai kota yang ramai dikunjungi pelancong, entah itu untuk urusan bisnis atau urusan lainnya. Peluang inilah yang diambil oleh keluarga Schomper untuk mendirikan hotel di kawasan Menteng. Maka jadilah Hotel Schomper. Tidak begitu jelas hotel bintang berapa.

Jaman pemerintahan Jepang (1942-1945), gedung ini digunakan sebagai kantor Ganseikanbu Sendenbu (Jawatan Propaganda Jepang). Tidak jelas pula apakah gedung ini direbut paksa atau melalui perjanjian jual beli. Dijaman itu gedung ini mulai digunakan sebagai tempat berlangsungnya pendidikan politik bagi rakyat. Peninggalan jaman Jepang yang dipajang di museum Gedung Juang 45 adalah poster-poster propaganda Jepang. Menurut saya ini adalah hal yang paling menarik di museum ini. Mungkin karena saya berkecimpung di dunia desain, jadi hal-hal yang berbau grafis langsung menarik mata. Poster propaganda Jepang ini rasanya begitu penting dalam sejarah desain grafis di Indonesia.

Toko dan Pabrik Roti Tan Ek Tjoan

Bermula dari tahun 1921, seorang Cina di Bogor merintis usaha roti yang kini melegenda di Jakarta. Tan Ek Tjoan melihat pasar bahwa kebiasaan orang Eropa yang mengkonsumsi roti dalam kehidupan sehari-hari, maka ia membuat roti untuk kalangan eropa. Resep dan rasanya tentu saja disesuaikan dengan lidah Eropa. Roti buatan Tan Ek Tjoan pun laris dikalangan warga Eropa di Hindia Belanda. Kemudian Tan Ek Tjoan membuka pabrik dan tokonya di kawasan cikini untuk mendekatkan diri dengan pemukiman Eropa di Menteng. Toko dan pabrik roti ini masih bisa dikunjungi hingga saat ini. Walau kini usaha roti Tan Ek Tjoan sudah diturunkan ke generasi ketiga dan Belanda sudah tidak lagi menguasai berkoloni di Hindia Belanda/Indonesia, tetapi roti ini tetap memiliki penggemarnya sendiri. Ditengah persaingan usaha roti yang semakin menjamur, roti Tan Ek Tjoan tetap mempertahankan orisinalitasnya. Beruntung saya bisa mengunjungi toko dan pabriknya yang legendaris. Sayang waktu itu kegiatan produksi di pabriknya sedang tidak ada. Jadi saya hanya melihat mesin-mesinnya saja.

Menurut karyawan Tan Ek Tjoan, masih banyak pelanggan yang memilih membeli langsung ke sini walau roti Tan Ek Tjoan sekarang bisa didapatkan di mana-mana. Ada yang ingin bernostalgia.

Rumah Raden Saleh

Dari sekian tempat yang kami kunjungi, menurut saya rumah raden saleh yang paling saya tunggu. Raden Saleh adalah pelukis Indonesia yang paling fenomenal. Dia pelukis langganan kaum kerajaan dan ningrat Eropa.

Raden saleh lahir dan dibesarkan di jawa, Hindia Belanda, tetapi kemudian hijrah ke Jerman dan Belanda untuk melanjutkan pendidikan melukisnya. Lama hidup di Eropa dan bergaul dengan orang-orang Eropa membuat gaya hidup dan selera Raden Saleh yang kebarat-baratan. Hal ini bisa dilihat dari rumah yang ia bangun di Batavia sekembalinya dari berkelana di Eropa sekian tahun. Karena memiliki langganan kaum atas, tak heran Raden Saleh memiliki kekayaan yang berlimpah.

Kembali ke Batavia, diapun membeli tanah yang luas di kawasan Cikini. Dia membangun rumah bergaya Eropa yang ia desain sendiri. Saya selalu membayangkan bahwa kehidupan sosial Raden Saleh itu seperti tokoh Minke di buku Anak Semua Bangsa karya Pramudya Ananta Toer. Seorang manusia pribumi yang modern, jauh dari gaya tradisional. Pertama memasuki rumah Raden Saleh, kami disambut oleh ruang tengah yang luas dan tinggi. Lengkap dengan pintu-pintu dan tangga di sekeliling ruangan. Saya merasakan suasana film The Sound of Music, ruang tengah tempat anak-anak keluarga Trapp bernyanyi.

"So long, farewell
Auf Wiedersehen, adieu
Adieu, adieu
To you and you and you"

Ah indahnya membayangkan suasana itu. Ditambah lagi dengan luasnya halaman rumah yang saya bayangkan bersuasana hijau teduh pepohonan. Plus kota kawasan Cikini yang saat itu belum sepadat saat ini.

Sayang saat ini kondisi rumah raden saleh agak memprihatinkan. Walau tetap dipelihara dengan baik oleh pemilik saat ini yaitu Rumah Sakit PGI Cikini, tetapi auranya sudah berbeda dan agak sedikit berantakan.
Saat ini rumah Raden Saleh dijadikan ruang dokter. Saya berharap jika rumah Raden Saleh dijadikan ruang yang lebih bersinggungan dengan masyarakat dan pasien. Misalnya museum, galeri seni atau ruang komunitas. Tentu lebih mendekatkan rasa seni dan sejarah ke masyarakat, khususnya ke pasien dan pengunjung rumah sakit. Suasana runah sakit bisa lebih hidup, syukur membantu proses pengobatan.

Sebenarnya ada beberapa tempat lagi yang dikunjungi, tetapi saya hanya menceritakan yang menarik di hati saja.

Sejarah memang tak pantas untuk diluang, tapi tak lantas dilupakan begitu saja.

(catatan: foto masih dalam tahap editing. Menyusul)

Sabtu, 13 Juli 2013

City Branding

Istilah city branding sering bermunculan akhir-akhir ini, terlebih ketika Ridwan Kamil, tokoh kreatif asal Indonesia terpilih menjadi walikota Bandung. Saya tak akan membahas apa itu city branding disini, saya hanya ingin beberapa kota di dunia me-rebranding kotanya, salah satunya lewat logo-logo baru yang lebih kontemporer.

Sudah saatnya kita meninggalkan gambar padi, kapas, gandum, perisai, salib, mahkota, dan hewan-hewan buas pada logo kota. 2013, saatnya maju dengan tampilan yang lebih mengkini.















Jumat, 12 Juli 2013

Merah Putih Jepang

Tiba-tiba saja saya kagum dengan pencipta bendera nasional Jepang. Kekaguman saya ini sebenarnya akibat dari pengamatan saya akan hal-hal yang berasal dari Jepang dalam kehidupan saya sehari-hari.

Kalau disebutkan kata Jepang, yang pertama kali keluar dalam bayangan saya adalah zen. Zen konon katanya banyak mengilhami semangat minimalisme dalam berbagai aspek. Entah benar atau salah, saya belum mempelajarinya lebih lanjut.

Kembali ke persoalan bendera. Bagi saya bendera jepang itu dibuat dengan sangat cerdas. Sederhana, bisa dan mudah diaplikasikan dalam berbagai hal, indah sepanjang masa, bahkan bisa difotocopy dengan baik. Dan yang membuat saya kagum adalah bendera Jepang menginspirasi banyak aspek. Bendera Jepang adalah  brand identity negara Jepang.



Suatu saat di tahun 2012, saya mengunjungi pameran seni di Pacific Place Jakarta. Hal yang paling membekas dalam ingatan saya bukan dari lukisan, justru dari papan identitas seniman yang ditempel di setiap lukisan. Beberapa pelukis dari Jepang turut memamerkan karyanya. Saya tak lagi ingat apa yang mereka lukis, tetapi saya ingat betul di setiap papan identitas lukisan-lukisan Jepang dibubuhi sendiri oleh mereka dengan gambar bulatan merah. Bulatan matahari seperti yang ada di bendera Jepang. Cerdas. Tanpa kita perlu membaca nama sipelukis yang bernama Jepang, kita bisa menerka bahwa si Pelukis berasal dari Jepang hanya dengan logo bulatan merah. Bendera Jepang dapat dikemas seperti halnya logo-logo perusahaan, mengidentifikasikan kejepangan.

Selang beberap waktu, tepatnya di pertengahan 2013, Uniqlo, sebuah brand pakaian asal Jepang membuka toko pertamanya di Indonesia. promosinya gencar.  Logo Uniqlo muncul dimana-mana. Di facebook, di wordpress, bahkan di jalan layang.

Karena penasaran, saya datangi tokonya. Sama seperti Muji, brand pakaian asal Jepang yang lebih dulu buka di Indonesia, yang saya tangkap dari Uniqlo adalah kesederhanaanya, walau dipoles dengan warna-warna ceria. 

Dan sebagai murid sekolah desainer, yang saya perhatikan selain pakaiannya adalah logonya. Pikiran saya langsung melayang ke berbagai logo-logo produk atau perusahaan asal Jepang. Saya langsung teringat AKB48, produk hiburan asal Jepang. Saya teringat Tomica, produk mainan mobil-mobilan Jepang. Saya teringat Canon, produk kamera Jepang. Saya teringat Mitsubishi, produk otomotif Jepang. Saya teringat Japan Art & Architecture, salah satu page facebook favorit saya. Saya terus teringat banyak hal. 

Saya tiba-tiba merasa menemukan rumusan bagaimana menjadi Jepang. Sederhana dalam berkarya dan tetap merah putih!

Apa yang saya rumuskan bebas untuk dipatahkan, karena lama-lama bosan juga melihat yang itu-itu saja.

Peace!

Uniqlo - fashionUniqlo - fashion

JKT48 - grup musik (Asal Indonesia, di bawah group AKB48 asal Jepang)

JKT48 - grup musik

Tomica - mainan

Japan Art & Architecture - page facebook

 Atari - pengembang videogame (asal Perancis, populer di Jepang)

Atari - pengembang video game

Nintendo - pengembang video game

Canon - pengembang alat elektronik

Fujitsu - pengembang alat elektronik

Sanyo - pengembang alat elektronik

Sharp - pengembang alat elektronik

Toshiba - pengembang alat elektronik

JVC - pengembang alat elektronik

Hitachi - pengembang alat elektronik

Daihatsu - perusahaan otomotif

Toyota - perusahaan otomotif

Toyota - perusahaan otomotif

Mitsibishi - perusahaan otomotif

Japan Air Lines - perusahaan penerbangan

kartu nama

kartu nama

kartu nama

kartu nama

promosi pariwisata









Ternyata rumusan itu jika disederhanakan menjadi seperti ini










Berikut ini dua logo favorit saya.





Selasa, 21 Mei 2013

Bolu Kukus dan Kenangan dalam Arsitektur

Suatu ketika saya dibelikan kue bolu kukus oleh seseorang dari salah satu toko kue di Grand Indonesia Mall. Saya memakan bolu tersebut sambil ingatan saya meloncat ke beberapa tahun lalu, ketika saya kecil. Ibu saya suka memberi saya kue bolu kukus. Entah itu kue bolu kukus yang ibu saya bikin sendiri atau ia beli dari warung.

Soal rasa, kue bolu yang saya dapat dari ibu kalah dibandingkan dengan kue bolu yang biasa saya makan sekarang. Tetapi makanan bukan sekedar soal rasa saja. Kue bolu kukus dari ibu saya boleh lah dibuat dari tangan seseorang yang bukan ahli memasak. Atau karena alasan keuangan, ibu hanya mampu membelikan saya kue bolu dari warung yang murah. Beda dengan apa yang saya makan sekarang, dibeli dengan mahal dari toko kue yang bagus. Rasanya pasti enak sekali.

Hebatnya, jika sekarang saya makan kue bolu kukus, ingatan saya adalah kue bolu kukus dari ibu, bukan kue bolu kukus dari toko mahal. Ini yang saya sebut sebagai "pengaruh kenangan".

Sama seperti arsitektur. Kenangan itu punya egek yang luar biasa dan itu diluar kuasa arsitek sebagai perancang.

Saat ini saya menyewa kamar kos yang jauh lebih baik dari kamar kos saya ketika masih kuliah dulu. Fasilitas lebih lengkap, lebih tenang untuk sebuah tempat tinggal, bebas panas karena memilik AC dan bebas nyamuk. Tetapi saya tak merasa mendapatkan feel yang sama ketika saya menyewa kontrakan ketika kuliah dulu. Saya merasa kos saya yang sekarang sepi dari aktivitas manusia. Terlalu dingin seperti gedung museumnya Frank Gehry di Bilbao.

Sebagai arsitek, saya belum berhasil menguak misteri "kenangan". Saya selalu berpegangan bahwa hirarki ruang tertinggi adalah ruang yang menciptakan kenangan. Saya selalu berusaha mendesain sesuatu yang nantinya dapat menciptakan kenangan bagi penggunanya. Semakin berusaha, semakin gagal.

Adakah yang mau membagi rumus untuk membuat kenangan bersama saya.

Senin, 08 April 2013

Kenangan Ada Apa Dengan Cinta dan Museum Wayang

Penikmat perfilman Indonesia yang hidup di tahun 2002 pasti pernah merasakan euforia film Ada Apa Dengan Cinta yang dibintangi Dian Sastro. Film ini walaupun bukan film yang luar biasa secara kualitas, tetapi tetap dijategorikan sebagai salah satu film terpenting dalam sejarah perfilman Indonesia. Film ini menginspirasi banyak orang, membekas di hati orang-orang yang menontonnya. Karena kenangannya yang kuatlah, film ini diputar kembali ditahun 2012 dalam rangka sepuluh tahun film Ada Apa Dengan Cinta.

Ada Apa Dengan Cinta berkisah tentang percintaan remaja SMA bernama Cinta dan Rangga. Film berakhir dengan perpisahan mereka di Bandara karena Rangga harus pindah ke luar negeri. Bukan akhir yang bahagia.

Indonesia adalah negeri yang latah. Melihat kesuksesan yang luar biasa, Ada Apa Dengan Cinta dibuat kelanjutannya dalam format serial televisi (sinetron). Berkisah tentang sekembalinya Rangga ke Indonesia dan hubungan percintaannya dengan Cinta. Serial TV Ada Apa Dengan Cinta berkesan memaksa dan berorientasi meraup untung dengan memanfaatkan euforia film bioskopnya. Terbukti dengan semua aktor dan aktrisnya adalah pemain baru. Kualitas yang buruk ini cukup mengecewakan penggemar. Bahkan yang lebih parah adalah serial TV merusak kenangan orang akan kisah di filmnya.

Saya pribadi, dan banyak penikmat film sependapat bahwa salah satu kenangan dari film Ada Apa Dengan Cinta adalah saat adegan perpisahan di bandara. Setelah itu film berakhir. Apa yang terjadi selanjutnya, biarlah menjadi misteri yang dibawa mati penonton. Misteri yang tak terpecahkan adalah salah satu kenikmatan menonton film.

...



Suatu malam saat saya membuka facebook, tak sengaja melihat foto yang diunggah teman facebook saya, seorang arsitek senior Indonesia. Foto yang membuat miris. Foto itu adalah foto taman yang baru dibuat di museum wayang Jakarta.

Museum wayang Jakarta adalah sebuah museum wayang yang menempati bangunan tua bekas gereja yang didirikan sejak tahun 1640 dan beberapa kali mengalami renovasi. Oleh pemerintah bangunan ini dikategorikan sebagai bangunan cagar budaya. Karena itulah penanganan bangunan ini tak bisa sembarangan. Perlu ilmu dan keahlian khusus tentang arsitektur cagar budaya. Untungnya bangunan ini pernah dipugar oleh arsitek senior yang berkompeten dibidangnya.

Ketika saya mengunjungi museum wayang tahun 2012, saya sangat menyukai area courtyardnya. Cahaya masuk dengan bebas menyapu dinding bata merah. Halaman courtyard berupa rumput membuat saya merasa nyaman duduk disitu melihat komposisi yang cantik. Ditambah lagi ada satu bagian penting dari bangunan ini yaitu prasasti makam Jan Piterszoon Coen, mantan gubernur jendral Hindia Belanda masih dipertahankan dan berdiri dengan kokoh di courtyard.

Seperti film Ada Apa Dengan Cinta, museum wayang bukanlah bangunan dengan desain yang terbaik dimasanya. Renovasi desainnya pun bukanlah renovasi desain terbaik dimasa kini. Tetapi saya selalu percaya, yang tak akan pernah bisa dikendalikan oleh arsitek adalah menciptakan kenangan akan ruang.

Courtyard museum wayang memberikan kenangan kuat bagi saya dan banyak orang lain tentang bangunan itu. Favorit saya adalah duduk menghadap prasasti makan Jan Pieterzoon Coen, dengan latar depan rumput hijau dan latar belakang dinding bata. Semuanya selaras. Lingkungan didesain tak harus berteriak, biarkan jiwa kita duduk dengan tenang di courtyard menikmati cahaya matahari menyapu material yang ada.

Saya tidak tahu apakah ratusan tahun yang laku warga Hindia Belanda juga merasakan apa yang saya rasakan di tahun 2012 ketik mengunjungi bangunan itu.

Tetapi satu yang saya tahu bahwa kenangna saya dirusak oleh renovasi berlebihan pada courtyard museum wayang. Courdyard rumput yang tadinga tenang diganti menjadi kolam buatan dengan disain kualitas rendah. Tak ketinggalan pohon bekas ditebang palsu dari beton dicat menyerupai warna pohon. Ah, sedih melihat bangunan cantik dirusak oleh renovasi desain kelas bawah. Itu juga yang saya rasakan ketika dulu menonton serial TV Ada Apa Dengan Cinta.

...

Kadang kala saya berpikir bahwa biarlah kenangan itu tercipta setelah apa yang kita alami atau rasakan hilang atau tergantikan dengan yang baru. Kisah Rangga dan Cinta telah menjadi kenangan. Suasanan courdyard museum wayang yang cantik dan damai pun kini hanya kenangan. Beruntungnya saya pernah mengalami kenangan indah ini.

*Foto oleh Bambang Eryudhawan http://www.facebook.com/photo.php?fbid=10151537900288104&set=a.142851913103.112889.814518103&type=1&relevant_count=1

Published with Blogger-droid v2.0.4

Senin, 28 Januari 2013

Gedung Cerutu Surabaya



Orang Indonesia memang ahli dalam melokalkan segala sesuatu. Salah satu korbannya adalah gedung yang sekarang disebut dengan gedung cerutu ini.

Gedung ini dibangun tahun 1916 oleh N.V. Maatschappij Tot Exploitatie van Het Technish Bureau Gebroeders Knaud, sebuah biro teknik bangunan dari Belanda. Tak ada bukti bahwa si perancang mendesain bangunan ini terinspirasi dari cerutu. Model minaret berkubah lancip sangat umum di beberapa arsitektur Eropa, tetapi tidak di tanah Hindia. Kreatifitas masyarakat lokal Hindia lah yang senang melokalkan segala sesuatu yang berbau asing membuat gedung ini sekarang dikenal sebagai gedung cerutu, karena masyarakat lokal merasa minaret gedung tersebut mirip cerutu raksasa.

Sayang, paska runtuhnya kekuasaan pemerintaham Belanda, gedung megah yang tadinya dijadikan sebagai kantor perusahaan Belanda kini terbengkalai kusam. Seperti sampah urban, besar tetapi tak tau untuk apa. Memang tadinya gedung ini sempat beberapa kali berubah fungsi paska kemerdekaan Indonesia.

Tak bisa dibayangkan apa yang akan dirasakan oleh arsiteknya jika tahu bangunan desainnya yang megah kini hanya terbengkalai dan hanya sekedar diingat sebagai gedung cerutu saja.

Published with Blogger-droid v2.0.4

Kampung Kemasan



Kampung Kemasan adalah kampung tua di Kota Gresik, Indonesia. Letaknya di pulau Jawa, 3 jam perjalanan darat dari Bandara international Juanda kota Surabaya.

Nama kampung Kemasan berasal dari kata emas. Sekitar tahun 1853, terdapaylah seorang perajin emas keturunan Cina yang amat masyur. Kualitas emas buatannya sangat baik sehingga dia terkenal dan sukses.

Dari sinilah cerita dimulai, perajin emas tersebut bernama Bak Liong. Dia mendirikan pemukiman di daerah yang sekarang di sebut Kampung kemasan. Maka tak heran jika kampung kemasan memliki rumah-rumah yang bercorak seperti rumah Cina.

delta perdana

Selasa, 22 Januari 2013

Google Street View

Saya punya hobi baru, membuka Google Street View. Seolah-olah jalan-jalan keliling dunia, merasakan suasana menjadi penduduk suatu kota/desa dari daerah antah berantah walau hanya melalui gambar tak bergerak. Terima kasih teknologi.