Sabtu, 12 Desember 2009

surat untuk Rolling Stone Indonesia




Terima kasih Rolling Stone Indonesia telah menerbitkan edisi 150 lagu Indonesia terbaik. Itu edisi Rolling Stone Indonesia terbaik bagi saya, bahkan mengalahkan edisi album Indonesia terbaik. Mengingat sistem pendokumentasian album-album di Indonesia yang buruk sekali, saya lebih mengetahui lagu-lagu legendaris ketimbang album-album legendaris Indonesia. Jadi ketika melihat edisi album Indonesia terbaik saya banyak mengerutkan dahi karena tak kenal, ketika melihat edisi lagu Indonesia terbaik saya tersenyum sumingrah.

Edisi 56 membuka banyak memori lama. Jujur saya dan teman saya yang ikut menemani saya membeli Rolling Stone edisi 56 menjadi gila seketika ketika melihatnya di toko buku, lalu membelinya. Kami tak langsung pulang, tapi mencari tempat untuk minum teh sambil membaca edisi tersebut sambil menyanyikan sekitar 100an lagu di dalamnya. Lebih dari sekedar bernyanyi, kita pun saling bercerita dan membagi kenangan lama masing-masing yang berhubungan dengan lagu-lagu tersebut. Karena itu, edisi 56 sukses membuat kami terharu.

Mungkin yang melihat kami barnyanyi sambil membaca Rolling Stone di kios minuman waktu itu akan menganggap kami gila dan tak tahu adat. Tetapi mereka tak mengerti bagaimana majalah ini mampu menjadi mesin waktu bagi kami.

Bagaimana saya terbawa ke kehidupan tujuh tahun silam ketika saya, ibu saya dan ayah saya menyanyikan lagu Kembali ke Jakarta atau Bis Sekolah sambil menggunakan gitar dan harmonika di teras rumah kami ketika kami masih tinggal serumah.

Atau bagaimana ketika saya terbawa oleh mesin waktu ke masa sekolah ketika saya dan teman satu geng atau satu band menyanyikan lagu Dan dan Posesif. Juga bagaimana memori akan cinta monyet saya ketika menyanyikan Mahadewi. Bahkan saya jadi teringat bagaimana saya bisa berkenalan dengan teman gila saya ini yang duduk di depan saya sambil menyanyikan lagu-lagu dari daftar majalah ini ketika kami sampai pada lagu Konservatif.

Jujur, belum pernah ada majalah yang memberi efek magis seperti Rolling Stone edisi 150 Lagu Indonesia terbaik. Saya menamai edisi itu dengan nama "Si Mesin Waktu". Saya berjanji akan menyimpan "Si Mesin Waktu" sampai mati.


P.S a.k.a Protes
Kenapa lagu Negeri-Negeri yang dibawakan Marjinal tak masuk dalam list mengingat lagu itu adalah lagu punk paling berpengaruh di Indonesia. Lagu itu sudah menjadi lagu wajib anak punk, anak jalanan dan kaum termarjinalkan. Bahkan aktivismahasiswa pun turut menyanyikan lagu itu. Lagu itu cukup populer hingga pelosok Indonesia walau secara underground. Saya kecewa berat. Untuk mengobatinya, saya menuliskan sendiri dengan tangan saya tepat di bawah lagu Me and My Boyfriend, "151. Negeri-Negeri oleh Marjinal"

Sabtu, 21 November 2009

Jalan Malam Surabaya

Tak ada foto dan gambara pada perjalanan ini karena saya tak membawa sketchbook dan kamera.


Surabaya, 21 november 2009

Karena lampu mati yang terlalu lama dan menciptakan kebosanan yang amat sangat, malam ini saya memutuskan untuk melakukan ritual jalan mengelilingi kota. Seorang diri kebetulan karena tak ada yang bisa diajak. Memang terkadang berjalan seorang diri itu wajib hukumnya bagi tiap manusia. Seperti kata seseorang, saya lupa siapa yang berkata, "tiap orang harus melakukan perjalanan seorang diri, hanya dirinya dan musik dan tanpa teman, setidaknya sekali seumur hidup.

Hujan baru saja reda. Listrik tetap saja belum hidup. Teman saya membuat lelucon tentang PLN. Kepanjangan PLN adalah Perusahaan Lilin Negara saking seringnya mereka memadamkan lampu. Perusahaan itu memang sekarat, seperti orang dalam kisah azab ilahi yang memiliki dosa kepada ibunya, tetapi ibunya belum memaafkan sehingga seorang tersebut sekarat parah, tetapi tak juga mati-mati sebelum ibunya memaafkannya. seperti itulah Perusahaan Lilin Negara kita.

Ada hal menarik dari perjalanan malam ini. Rute yang saya ambil memang bukan rute baru, Sudah sering jalur ini saya lalui, baik seorang diri, berdua, berempat, bersekian tetapi belum pernah berseratus. Saya memarkir motor saya di Delta Plasa dan berjalan ke Tunjungan Plasa. Suatu keidiotan alami.

Ada sepasang pasangan ajaib yang bagi saya sudah lumrah di negeri yang kata orang bule eksotis ini. Tapi menurut saya ini erotik. Seorang pria bule putih tinggi bermesraan dengan cewek melayu coklat cebol di depan Tunjungan Plasa. Bisa ditebak si wanita mengenakan pakaian yang serba minimalis padahal tren arsitektur minimalis saja sudah mulai membosankan bagi pelaku arsitektur.

KFC Basuki Rahmat terlihat sibuk karena kebanjiran setelah habis hujan. Pengunjungnya sudah tentu kabur semua. Wong mereka hanya memesan Kentang goreng atau paha ayam, eh dengan si empunya KFC malah disuguhi pelayanan banjir segala. Ya malas Pak! Mending ke McD yang ada di sebrang jalan. Miris memang melihat kondisi KFC itu. Berada di pusat kota, di samping mall terpopuler se-Surabaya, tetapi kalu hujan malah banjir. Dan karyawannya akhirnya punya keahlian baru selain masak dan mengantarkan makanan, menyedot air banjir. Arsitek bangunan KFC itu pasti sudah menghapus bangunan KFC itu dari daftar portofolio karyanya ketimbang reputasinya hancur karena merancang bangunan yang langganan tenggelam. Itu juga yang akan saya lakukan kelak jika menjadi arsitek dan bangunan saya sebentar-bentar kebanjiran.

Dan inilah kali pertama saya, setelah dua tahun lebih di Surabaya dan bolak-balik masuk Tunjungan Plasa, saya masuk lewat pintu utama, pintu depan maksudnya. Selama ini lewat pintu parkir belakang. Tapi tidak ada yang spesial juga meski lewat pintu depan. Bahkan bagi saya satpamnya terkesan cuek tanpa sambutan apa-apa. Beda ketika saya masuk ke sebuah bank dengan satpam yang sangat ramah. Saya curiga satpam bank adalah mantan pramugara atau sales panci dan alat rumah tangga. Dan tetap saja Tunjungan Plasa adalah mall yang sangat membingungkan saya. Bolak balik saya ke Gramedia, tetapi tetap saja saya bingung dan butuh waktu dan setelah beberapa kali mengelilingi banguan baru saya menemukannya. Kecurigaan saya adalah konsep si arsitek dulu waktu membuat mall ini adalah hide and seek. Catatan, dalam kunjungan ini saya tak menemukan toko CD karena lupa letaknya dimana.

Gramedia, seperti toko buku lainnya, adalah surga bagi saya. Masalahnya perjalanan kali ini saya hanya membawa seratus ribu perak dan memang tak ada niat untuk belanja. Wong perginya juga terpaksa karena lampu mati. Nah beruntung Gramedia Tunjungan Plasa adalah salah satu gramedia terburuk yang pernah ada. Saya tak menemukan buku yang sedang ingin saya baca. Bukunya Pram Ananta Toer dan Ayu Utami. Jadi Tuhan masih menyelamatkan uang saya malam ini.

Kata teman, bacaan saya mengerikan. Bacaan kiri. Menurut saya buku Pramoedya A Toer baik-baik saja. Hanya Orde baru saja yang terlalu berlebihan. Mengambil istilah keponakan saya, orde baru itu lebay. Jangan-jangan mereka jablay atau mungkin alay. Beruntung keponakan saya hidup di jaman reformasi (masih katanya tapi saya ragu sekali) sehingga boleh membaca buku Pram dan Ayu Utami di manapun, bahkan di kantor polisi.

Ada hal menarik di Gramedia malam ini. seorang pemuda begitu antusiasnya mencari buku yang ada kata 2012. Bahkan setelah satu jam saya mengelilingi toko buku, dia masih membaca, dan berdiskusi dengan mungkin pacarnya. Lagi-lagi saya curiga pasti pasangan ini sudah menonton film yang menghebohakan itu, 2012 sebanyak lebih dari tiga kali. Saya mencoba mendekat mereka dan diskusinya memang sangat seru.

Di rak novel, dua orang wanita sekitar dua tigapuluhan sedang curhat-curhatan. Sepertinya yang seorang sangat kesal sampai marah-marah. Sepertinya soal cowok. Saya tak ambil pusing, lebih baik saya keluar saja.

Surabaya malam memang menawarkan hal yang berbeda, apalagi setelah hujan deras. Komunitas sepeda asik berkumpul di depan Zangrandi, toko es krim legendaris Surabaya dan favorit teman saya. Komunitas vespa masih nongkrong di depan budaran Institut Teknologi Sepuluh November. Anak-anak punk berkeliaran di depan Delta Plasa. Patung Gubernur Suryo yang imut (saya berani bertaruh bahwa dia adalah gubernur terimut seluruh dunia) di padati anak-anak muda seperti biasanya.

Dan karena perut lapar, saya mencari warung di sebelah tata's project. Entah kenapa saya ingin makan nasi uduk sambil melihat tukang mengaduk beton. Dan malam pun di akhiri dengan menulis tulisan ini, sambil sesekali memainkan photoshop dan mendengarkan Hold MY Hand-nya Blillie The Vission And The Dancers. Hari pun telah pagi. Surabaya, saya tidur dulu.

jurnal perjalanan jogja












Selasa, 19 Mei 2009

gadis yang memusingkan

Berapa lamakah anda mampu memandang wajahnya?

Kerjaan dikala bosan di kelas


Gambar di atas di ambil dari buku sadis, catatan harian seorang pecundang. Tata dan Topang berkolaborasi untuk kesekian kali sehingga menghasilkan karya di atas. Digambar saat bosan mendengarkan ceramah dosen saat kuliah pagi.