Isu pemanasan global yang menggejala belakangan ini membuat semua sektor menjadi latah untuk melakukan inovasi yang menunjukkan kepedulian akan alam. Jika anda tidak percaya, coba baca koran, berapa banyak iklan yang memuat kata green, sustainable dan turunan kata yang bermakna peduli lingkungan.
Sunggguh menggelitik ketika industri otomotif mulai memasarkan produknya dengan embel-embel green/sustainable. Inikah yang disebut sebagai penebusan dosa ketika iklan mobil dan motor ramai-ramai memasang gambar pohon atau orang yang sedang menanam pohon dan mereka mengkampanyekan program pelestarian alam dan efisiensi energi dan bahan bakar.
Asap kendaraan adalah salah satu penyumbang kerusakan alam dan itu benar adanya. Tetapi hal itu bukanlah permasalahan utama dari permasalahan transportasi perkotaan. Kepadatan lalu lintas menghasilkan angka perbandingan yang tak proporsional antara jumlah kendaraan, jumlah pengguna kendaraan dan jumlah luasan jalan.
Lalu apakah jika dimasa datang ketika semua kendaraan menjadi ramah lingkungan, menggunakan bahan bakar baterai alih-alih bahan bakar fosil sehingga eksplotasi minyak berkurang dan mobil tak lagi mengeluarkan gas racun, menjadikan semua permasalahan transportasi terselesaikan? Jawabannya tidak, karena permasalahan utamanya adalah kepadatan jumlah kendaraan. Masalah polusi lingkungan yang diakibatkan dari kendaraan adalah akibat dari kemacetan yang parah itu sendiri akibat kepadatan jumlah kendaraan yang berlebihan.
Mari kita lakukan hitung-hitungan. Jakarta, salah satu kota terpadat di dunia, memiliki luas jalan 40,1km persegi atau 0,26% dari luas wilayah. Panjang jalan sekitar 7650km dengan pertumbuhan panjang jalan 0,01%pertahun. Hal ini tidak sebanding dengan tingginya angka perjalanan yang mencapai 20juta perhari. Mobil pribadi diperkirakan sebanyak 2.115.786 unit dan motor sebanyak 7.516.556 unit. Itu artinya jika kita menghitung luas rata-rata mobil adalah 7,56m persegi (4,2m x 1,8m) dikalikan dengan jumlah mobil yang ada, maka didapat luasan 15.995.342m persegi. Atau 40% dari luas jalan. Perhitungan ini dengan kondisi kasar tanpa memperhitungkan jarak jeda antar mobil (mobil dalam keadaan saling berdempetan) dan menganggap semua mobil adalah SUV ukuran menengah. Tambahkan jumlah motor, kendaraan umum seperti taksi, bus dan angkot, kendaraan dari luar kota yang. Melintasi Jakarta dan jarak jeda antar mobil, maka akan didapat angka yang fantastis.
Sekarang kita lakukan perhitungan skala kecil saja jika hitungan skala besar tadi dirasa memusingkan. Pertama-tama kita harus menyepakati bahwa transportasi umum adalah solusi terbaik permasalahan transportasi perkotaan, alih-alih pembuatan jalan layang sepuluh tingkat.
Kita ambil contoh suatu jalan yang macet di jam padat seluas 1500 meter persegi saja. Kita potong rata bahwa di jam macet, semua orang menggunakan SUV pribadi dengan luas rata-rata 7,56 meter persegi (4,2m x 1,8m). Dalam kenyataan, tak mungkin ada mobil jalan berdempetan. Jadi kita asumsikan jarak terpendek antar mobil sebesar 0,3m. Didapat luasan yang dibuthukan satu mobil adalah 9,45 meter persegi (4,5m x 2,1m). Rata-rata satu mobil diisi oleh 1,5 orang. Hal ini karena kebanyakan masyarakat menggunakan mobil benar-benar secara pribadi. Satu orang satu mobil atau satu orang+ supir satu mobil. Luasan yang dibutuhkan orang duduk adalah 1,05 meter persegi (0,7m x 1,5m). Artinya 1,5 orang membutuhkan ruang sebesar 1,575 meter persegi atau 16,7% luasan mobil. Jadi di jalan seluan 1500 meter persegi tadi mampu menampung 158 buah mobil (hitungan ini tidak mempertimbangkan konfigurasi geometris mobil) dan 237 manusia atau 99,5% mobil dan 16,59% manusia. Bayangkan lahan seluas 1500 meter persegi hanya berisikan 16,59% manusia, suatu pemborosan ruang yang sangat besar.
Bayangkan jika industri mobil lokal kita berkembang pesat hingga nanti akan lahir jutaan mobil ala EsEmKa. Perekonomian meningkat dan menimbulkan komposisi satu orang satu mobil. Orang akan terlena dengan iklan industri otomotif yang berani menjual mobil ramah lingkungan dengan harga murah. Orang tak perlu takut lagi menggunakan mobilnya bahkan cuma untuk membeli roti di toko depan perumahan hanya karena teknologi otomotif yang sedemikian maju.
Maka 9.588.198 jiwa penduduk Jakarta (data 2010). Akan membutuhkan 90.608.471 meter persegi ruang untuk mobil dengan catatan semua menggunakan SUV ukuran menengah. 12,16% luas Jakarta akan diisi mobil, padahal luas jalannya hanyalah 0,26% saja. Perhitungan tersebut belum termasuk penduduk pendatang yang tidak terdata dan penduduk luar kota yang melintasi Jakarta.
Transportasi umum massal yang nyaman adalah hal mutlak yang mesti ada di kota sepadat Jakarta. 1500 meter persegi jalan tadi yang diisi 237 orang dan 158 mobil seharusnya bisa dikonversikan ke dalam 3 buah bus trans Jakarta (1 bus menampung 85 penumpang, 31 tempat duduk). Jika satu bus trans Jakarta luas kasarnya adalah 36m (12m x 3m), maka hanya dibutuhkan 7,2% luas jalan untuk mobil. Penghematan ruang bukan?
Hitung-hitungan kasar ini membuktikan bahwa kita jangan sampai tertipu oleh kampanye pelestarian lingkungan oleh industri otomotif sehingga kita merasa tidak berdosa menggunakan mobil pribadi tanpa bijak. Pelestarian lingkungan memang penting, tetapi bukan berarti permasalahan transportasi perkotaan akan berakhir. Semua masalah harus dicabut hingga akarnya, bukan hanya daunnya saja.
Published with Blogger-droid v2.0.2