Klik gambar untuk memperbesar
Ada foto Juarinya (bisa diganti fotomu)
Senin, 29 Agustus 2011
Kaos Bondan Prakoso Fade 2 Black
Selamat Idul Fitri (Edisi Arsitektur)
Tak terasa arsitektur adalah dunia yang penuh dosa. Kita mencela tiap saat sepanjang tahun. Berusaha menjadi yang paling tahu, seolah Tuhan. Dan sekarang, saatnya berlebaran!
Rabu, 03 Agustus 2011
crayon
Di suatu masa, barang termewah yang dibelikan seorang ibu kepada seorang anak laki-lakinya adalah sekotak oil pastel crayon 96 warna. Mahal memang, tetapi tak mengapalah kata si ibu waktu itu. Crayon itu dibeli ketika si bocah duduk di kelas satu SD dan sejak itu, crayon itulah harta termewah si bocah, bukan mainan nintendo atau jam tangan G shock. Walau demikian si bocah merasa bahwa crayon tersebut adalah mainan terbaiknya.
Si ibu memasukkan anaknya ke sanggar lukis dan si bocah tersebut diajar langsung oleh dua orang pelukis terkenal di kota tersebut yang tingkat kesabarannya tak bisa dilukiskan. Dan sekarang si bocah dan crayonnya itu seperti Harry Potter dan tongkat sihirnya.
Minder pasti ada tiap si bocah melihat karya orang lain yang jauh lebih baik dari dirinya. Tetapi si ibu selalu mendorong. Perlahan kemenangan demi kemenangan ditiap kompetisi menggambar menghampiri, pameran lukis ia ikuti. Walau bukanlah pelukis yang hebat, si bocah mulai dikenal di komunitas.
Waktu berlalu, crayon itu mulai habis dan rusak dan tergantikan dengan crayon baru. Tetapi si bocah tetap menyimpan kotak crayon tersebut beserta sisa-sisa kecil crayonnya untuk kenang-kenangan. Sampai akhirnya, ketika pindah rumah ke kota lain saat SMA, crayon tersebut si bocah wariskan ke keponakan yang baru mulai menggambar. Setiap perpisahan pasti menghasilkan kesedihan.
Sekarang si bocah sudah dewasa, menjadi seorang arsitek dan masih tetap menggambar. Seiring kondisi perekonomian pribadi yang lebih baik, peralatan gambarnya pun sekarang jauh lebih lengkap. Tetapi si bocah tak akan melupakan crayon mewah pertamanya. Dari sana segalanya bermula. Dari garis pertamanya, dan mimpi-mimpi masa kecil si bocah.
Si ibu memasukkan anaknya ke sanggar lukis dan si bocah tersebut diajar langsung oleh dua orang pelukis terkenal di kota tersebut yang tingkat kesabarannya tak bisa dilukiskan. Dan sekarang si bocah dan crayonnya itu seperti Harry Potter dan tongkat sihirnya.
Minder pasti ada tiap si bocah melihat karya orang lain yang jauh lebih baik dari dirinya. Tetapi si ibu selalu mendorong. Perlahan kemenangan demi kemenangan ditiap kompetisi menggambar menghampiri, pameran lukis ia ikuti. Walau bukanlah pelukis yang hebat, si bocah mulai dikenal di komunitas.
Waktu berlalu, crayon itu mulai habis dan rusak dan tergantikan dengan crayon baru. Tetapi si bocah tetap menyimpan kotak crayon tersebut beserta sisa-sisa kecil crayonnya untuk kenang-kenangan. Sampai akhirnya, ketika pindah rumah ke kota lain saat SMA, crayon tersebut si bocah wariskan ke keponakan yang baru mulai menggambar. Setiap perpisahan pasti menghasilkan kesedihan.
Sekarang si bocah sudah dewasa, menjadi seorang arsitek dan masih tetap menggambar. Seiring kondisi perekonomian pribadi yang lebih baik, peralatan gambarnya pun sekarang jauh lebih lengkap. Tetapi si bocah tak akan melupakan crayon mewah pertamanya. Dari sana segalanya bermula. Dari garis pertamanya, dan mimpi-mimpi masa kecil si bocah.
Published with Blogger-droid v1.7.2
Langganan:
Postingan (Atom)