Tiap perjalanan selalu mendatangkan kenalan baru dan cerita baru. Rasanya ketika kita duduk di dalam kereta atau bus, saling berbagi cerita dengan orang yang baru kita kenal yang duduk di sebelah kita, pemandangan di luar jendela menjadi sekedar pemandangan latar saja. Cerita di dalam kereta atau bus jauh lebih menyenangkan, asal mendapat kenalan yang menyenagkan pula.
Orang berkata, mendaki gununglah, kau akan mendapatkan sifat asli manusia. Boleh lah saya juga berkata, berjalanlah yang jauh, kau akan mendapatkan cerita asli manusia.
Saya sering melakukan jalan darat di atas 10 jam menggunakan kereta atau bus. Dari kelas ekonomi yang busuk sampai kelas eksekutif yang isinya orang-orang berlaptop dan ber-iPad.
Dalam suatu perjalanan kereta kelas eksekutif terbaik di Indonesia, saya berbagi cerita dengan ibu-ibu berpendindikan yang selalu menyombongkan gelar anak-anaknya yang panjang-panjang dari berbagai universitas dalam dan luar negeri. Kesembongan memang sifat dasar manusia, tetapi saya mengambil positifnya dari cerita ibu tadi. Saya termotivasi untuk lebih banyak belajar agar bisa sepintar keluarga ibu tadi.
Dilain hari, saya hanya naik kereta ekonomi yang sempit dan panas. Belum lagi ditambah kereta yang lebih sering berhenti di persimpangan rel karena kereta ekonomi harus mengalah dari kereta eksekutif yang melintas. Otomatis berdampak pada semakin lamanya jarak tempuh. Dari yang seharusnya 11 jam menjadi 14 jam. Di situ saya berkenalan dengan bapak 40 tahunan yang baru menikah sekitar 5 tahun lalu dan usianya dengan usia anaknya terpaut jauh. Bapak ini bersahaja dan pemikirannya terlalu naif bagi saya. Tetapi dia baik. Di sebrang saya duduk dua orang adik kakak dari desa di pulau jawa. Si kakak baru menikah setahun dan baru memiliki bayi. Cerita pun bergulir seputar keluarga dan pernikahan. Walau secara wawasan, mereka (maaf) tak terlalu luas, tipikal orang desa yang bersahaja, tetapi saya tetap menikmati. Saya pun harus memilih kata - kata dan topik yang tepat agar tak terlalu tinggi bagi mereka. Saya memposisikan diri sebagai orang desa juga. Disanalah percakapan berjalan seru. Saat jam makan malam, kami berbagi makanan. dua kakak beradik membawa bekal banyak dan dibagi-bagikan. Si bapak telat nikah membeli dua botol Aqua besar. Katanya Aqua terenak adalah Aqua yang berasal dari mata air Pandaan. Yah orang desa, saya makljm saja walau dalam hati saya mau mendebat. Tetapi hati yang lain berkata untuk mengangguk setuju saja. Toh kita harus tahu dimana kita harus berdebat dan merasa sok pintar, dimana kita merendah dan menganggap orang lain pintar. Setelah lelah bercerita, kami pun tidur. Namun agar bisa tidur dengan nyaman di bangku kereta ekonomi yang sempit dan keras, kami berbagi tempat. Artinya harus ada yang mengalah untuk berdiri. Kami pun tidur bergantian. Berdiri juga gantian. Kebersamaan ini benar - benar tak bisa saya lupakan walau saya tak mengenal mereka sama sekali. Juga cerita - cerita yang berhasil menghapus kebosanan di perjalanan panjang.
Pernah pula di bus bertemu bapak-bapak yang begitu bahagianya baru pulang dari Hongkong. Itu perjalanan pertamanya keluar negeri. Rasanya dia tak sabar untuk sampai di desanya dan bercefita tentang perjalanannya.
Baru-baru ini saya berkenalan dengan seorang mamah muda, yang ternyata dia satu SMA dengan saya. Tetapi ketika SMA, saya merasa tak pernah melihat dia. Dia bercerita tentang kerasnya hidup di Jakarta, tentang orang-orang Wonosobo, tentang harapan dan cita-citanya, bahkan (lagi-lagi) tentang keluarga dan pernikahan. Dia cukup terbuka tentang perceraiannya dan perjuangannya sebagai single parent. Saya rasa ini seperti sesi berbagi cerita di kelas bimbingan konseling.
Waktu SMA, saya suka sekali dengan novel Roy karya Golagong. Dari situ saya terinspirasi untuk berjalan jauh, berbagi cerita dengan banyak orang, pulang dengan bahagia. Perjalanan saya memang tak semenantang novel Golagong, tetapi setidaknya saya mendapatkan banyak cerita dari jalanan. Dan akan saya kejar terus cerita itu sampai saya merasa cukup.