Suatu ketika saya dibelikan kue bolu kukus oleh seseorang dari salah satu toko kue di Grand Indonesia Mall. Saya memakan bolu tersebut sambil ingatan saya meloncat ke beberapa tahun lalu, ketika saya kecil. Ibu saya suka memberi saya kue bolu kukus. Entah itu kue bolu kukus yang ibu saya bikin sendiri atau ia beli dari warung.
Soal rasa, kue bolu yang saya dapat dari ibu kalah dibandingkan dengan kue bolu yang biasa saya makan sekarang. Tetapi makanan bukan sekedar soal rasa saja. Kue bolu kukus dari ibu saya boleh lah dibuat dari tangan seseorang yang bukan ahli memasak. Atau karena alasan keuangan, ibu hanya mampu membelikan saya kue bolu dari warung yang murah. Beda dengan apa yang saya makan sekarang, dibeli dengan mahal dari toko kue yang bagus. Rasanya pasti enak sekali.
Hebatnya, jika sekarang saya makan kue bolu kukus, ingatan saya adalah kue bolu kukus dari ibu, bukan kue bolu kukus dari toko mahal. Ini yang saya sebut sebagai "pengaruh kenangan".
Sama seperti arsitektur. Kenangan itu punya egek yang luar biasa dan itu diluar kuasa arsitek sebagai perancang.
Saat ini saya menyewa kamar kos yang jauh lebih baik dari kamar kos saya ketika masih kuliah dulu. Fasilitas lebih lengkap, lebih tenang untuk sebuah tempat tinggal, bebas panas karena memilik AC dan bebas nyamuk. Tetapi saya tak merasa mendapatkan feel yang sama ketika saya menyewa kontrakan ketika kuliah dulu. Saya merasa kos saya yang sekarang sepi dari aktivitas manusia. Terlalu dingin seperti gedung museumnya Frank Gehry di Bilbao.
Sebagai arsitek, saya belum berhasil menguak misteri "kenangan". Saya selalu berpegangan bahwa hirarki ruang tertinggi adalah ruang yang menciptakan kenangan. Saya selalu berusaha mendesain sesuatu yang nantinya dapat menciptakan kenangan bagi penggunanya. Semakin berusaha, semakin gagal.
Adakah yang mau membagi rumus untuk membuat kenangan bersama saya.
1 komentar:
memory anchor yo dab. kalo visual koyoke kok jarang bisa menciptakan jangkar kenangan. yang banyak itu rasa di lidah ato suara ditelingan
Posting Komentar