Published with Blogger-droid v2.0.2
Timo Scheunemann tidak memiliki darah Indonesia sedikutpun di garis keturunan leluhurnya. Dia hannyalah seorang pemain sepakbola berkebangsaan Jerman yang merumput di klub Indonesia, dan kemudian jatuh hati terhadap sepakbola Indonesia. Dia tidak seperti El Loco Gonsales yang kemudian mengubah kewarganegaraannya menjadi warga negara Indonesia dan membela timnas Indonesia.Entah apa yang dipikirkan Timo, meninggalkan negara aslinya yang melahirkan teknologi dan talenta-talenta besar untuk mencetak tim-tim sepakbola berkualitas international. Dia memilih Indonesia, negara yang sepakbolanya jauh dari kata berhasil. Jika ada buku berjudul Sepakbola yang Payah, Indonesia bisa masuk dalam buku itu, bahkan dibahas di satu bab tersendiri. Timo menghabiskan tenaganya sebagai pemain, pelatih dan pembina pemain muda bagi negara dengan sepakbola buruk tersebut.
Timo dan Nurdin Halid, eks ketua PSSI, sama-sama punya cita-cita besar. Membuat sepakbola Indonesia jauh lebih baik. Jika Nurdin berambisi besar dengan selalu berusaha untuk menduduki kursi ketua PSSI, menulis buku tebal yg berisi visi sepakbola Indonesia kedepan dan dengan sombongnya mengatakan Indonesia siap menjadi tuan rumah World Cup 2022. Tidak demikian dengan Timo.
Timo cukup bersahaja. Dia dikenal dekat dengan pembinaan pemain muda. Dia mengeluarkan dua buku tipis tentang visinya dan teknik-teknik bermain sepakbola modern bagi sepakbola Indonesia. Dia bahkan memilih untuk tinggal di kota kecil, Malang, hidup diperkampungan Jawa, dan membina bibit-bibit muda Indonesia. Di bukunya dia hanya berkata, Indonesia mampu menjadi tim yang disegani di level international. Untuk itulah dia terjun langsung kelapangan, bersama anak-anak muda Indonesia demi impian suatu negara yang bukan negaranya sendiri.
Kisah Timo persis kisah dalam film-film Hoolywood, dimana seorang pria kulit putih, mendatangi suatu negara terbelakang, menjadi pejuang dan pahlawan di negara tersebut. Katakanlah The Last Samurai, Machine Gun Preacher, The Last King of Scotland, dll.
Timo belum berhasil seperti di film Hollywood. Tetapi semangatnya, seperti yang ia teriakkan di dua bukunya "Untuk Sepak bola Indonesia!", patut diapresiasikan. PSSI pun meliriknya untuk menjalankan program pembinaan pemain usia muda.
Ingatlah ketika Jepang terpuruk, ia membutuhkan seorang revolusioner Amerika dalam tubuh The Last Samurai. Ketika sepakbola Indonesia terpuruk, ia juga membutuhkan seorang revolusioner Jerman.
Published with Blogger-droid v2.0.2
2 komentar:
selepas ngelatih persema dia udah ga megang klub lagi?
bukunya judulnya apa ta?
dia skrg megang jabatan di PSSI sbg kordinator pembinaan usia muda.
dasar2 sepakbola modern.
Posting Komentar