Kamis, 02 Agustus 2012

Arsitek

ARSITEK
* Oleh Y.B. Mangunwijaya (Romo Mangun), Kamis 16 Sep 1993 KOMPAS Halaman 4


    PROFESI arsitek di Indonesia masih baru. Di zaman Perang Dunia II di Technische Hoge School (THS) yang kini menjadi Institut Teknologi Bandung (ITB) hanya ada yang disebut Jurusan Sipil, di mana Bung Karno dulu pernah menjadi mahasiswa. Di THS Negeri Belanda di Delft hanya ada jurusan yang disebut Bouwkunde (Ilmu Bangunan) yang menghasilkan arsitek-arsitek juga, tetapi lebih condong ke ilmu bangunan sipil. Kata sipil diambil dari kata sebutan civiel atau diterjemahkan sekarang: bangunan kepentingan masyarakat alias bangunan umum. Profesi arsitek pada dasarnya tidak lahir dari kalangan universitas atau perguruan tinggi, tetapi dari iklim magang para arsitek profesional di sanggar-sanggar, karena lebih digolongkan dalam profesi senirupa. Arsitek-arsitek agung sebelum Perang Dunia II dan yang memberi wajah serba baru kepada dunia bangunan sesudah kehancuran umum dunia maju 1945 seperti Mies van der Rohe, Gropius, Corbusier, kalau tidak salah Kenzo
Tange juga, bukanlah sarjana-sarjana lulusan universitas, tetapi orang-orang genius buah sanggar-sanggar "swasta" yang dididik langsung oleh masyarakat arsitek dan kreativitas pribadi. Seperti pelukis dan pematung, seniman tekstil dsb. Di Jerman memang ada lembaga pendidikan desainer termashur yang bernama Bauhaus (Rumah Bangunan) yang secara integral dan total mencakup pendidikan segala cabang seni. Tetapi Bauhaus justru tidak ingin akademik. Inspirasi dasar Bauhaus adalah kehidupan real masyarakat, khususnya perpaduan antara keperluan sehari-hari dan dunia serba baru yang sedang dicangkokkan ke dalam masyarakat, yakni dunia khas industrial. Yang punya filsafat hidup, budaya dan selera yang sangat khas, sangat berlainan dari dunia budaya agraris.

    Dari sejarah kebudayaan di mana pun memang kita melihat, bahwa arsitek, pelukis, pematung, para seniman dalam seni-bentuk memang adalah "putera-puteri masyarakat", bukan alumni perguruan tinggi formal. Bahkan di Barat, hasil seni dari dunia akademi justru dilecehkan sebagai seni yang tidak otentik. Akademis artinya: buruk, klise, tidak inspiratif, tiruan, dan sebagainya yang negatif.
Pertanyaan akademis juga bernada negatip: mengada-ada, tidak praktis, tidak hidup, tidak relevan. Walaupun di zaman antik, pertanyaan akademis justru bernilai metafisik yang tinggi. Tetapi, zaman industri yang dinafasi iptek memang lain problematika hidupnya.

Belum diakui penuh

    Sebetulnya tidak sangat berbeda dari profesi-profesi lain yang semula belajar dari praksis kehidupan masyarakat, seperti ilmu ketabihan. Para sinsei di Timur, Timur-Tengah dan Barat belajar lewat proses magang dari para guru dan suhu di tengah masyarakat. Baru kemudian datanglah fakultas-fakultas kedokteran pada perguruan-perguruan tinggi formal. Ini sangat berhubungan dengan sifat dan proses birokratisasi juga yang tak terelakkan dalam masyarakat yang semakin canggih pengorganisasiannya.

    Tetapi, dokter sudah (terpaksa) dihargai masyarakat. Arsitek belum. Orang sakit yang berakal sehat atau terpelajar datang ke dokter tidak dengan tuntutan minta pil-kapsul ini suntikan itu, mendikte si dokter obat apa yang harus diberikan agar ia sembuh. Tetapi kepada arsitek orang datang dengan seperangkat permintaan dan pendiktean sesuka selera. Harus seperti gedung ini dari Amsterdam, minta jendela seperti di Hongkong, harus pakai tiang ini dari Yunani dan harus meniru bentuk-bentuk yang "tidak kalah dengan" Singapore dan seterusnya. Arsitek bahkan dianggap lebih rendah daripada dukun, karena kepada dukun sekalipun orang tidak mendiktekan resep.

    Mungkin karena pada pemberi order itu kebudayaannya masih belum beranjak dari demang despotik di zaman kolonial yang masih kelewat agraris, sehingga mereka bergaya seperti petani dungu yang sukanya mendikte dokter agar jangan diberi pil, tetapi disuntik saja supaya lekas sembuh. Tetapi mungkin juga di arsitek belum dipercaya kemampuannya, dan membuktikan diri memang belum punya pendirian dan filsafat disain yang kuat sehingga tidak meyakinkan. Namun, boleh jadi orang punya suatu pemahaman tentang arsitektur yang keliru. Sehingga hasilnya adalah arsitektur murahan bahkan "kampungan" yang biasanya gado-gado asal comot sini comot sana karena memang itu yang diminta pemberi order. Kalau tidak memuaskan beliau-beliau, ditakuti nanti tidak mendapat order basah dari klien yang kuasa, kaya baru tidak intelek dan budayanya masih kampungan. Jadi praktis kriterianya: uang dan kemumpungan. Sampai terjadi, arsitektur Gedung Dewan Pertimbangan Agung di Jakarta