Minggu, 29 Januari 2012

Ilusi Kampanye Hijau Industri Otomotif



Isu pemanasan global yang menggejala belakangan ini membuat semua sektor menjadi latah untuk melakukan inovasi yang menunjukkan kepedulian akan alam. Jika anda tidak percaya, coba baca koran, berapa banyak iklan yang memuat kata green, sustainable dan turunan kata yang bermakna peduli lingkungan.

Sunggguh menggelitik ketika industri otomotif mulai memasarkan produknya dengan embel-embel green/sustainable. Inikah yang disebut sebagai penebusan dosa ketika iklan mobil dan motor ramai-ramai memasang gambar pohon atau orang yang sedang menanam pohon dan mereka mengkampanyekan program pelestarian alam dan efisiensi energi dan bahan bakar.

Asap kendaraan adalah salah satu penyumbang kerusakan alam dan itu benar adanya. Tetapi hal itu bukanlah permasalahan utama dari permasalahan transportasi perkotaan. Kepadatan lalu lintas menghasilkan angka perbandingan yang tak proporsional antara jumlah kendaraan, jumlah pengguna kendaraan dan jumlah luasan jalan.

Lalu apakah jika dimasa datang ketika semua kendaraan menjadi ramah lingkungan, menggunakan bahan bakar baterai alih-alih bahan bakar fosil sehingga eksplotasi minyak berkurang dan mobil tak lagi mengeluarkan gas racun, menjadikan semua permasalahan transportasi terselesaikan? Jawabannya tidak, karena permasalahan utamanya adalah kepadatan jumlah kendaraan. Masalah polusi lingkungan yang diakibatkan dari kendaraan adalah akibat dari kemacetan yang parah itu sendiri akibat kepadatan jumlah kendaraan yang berlebihan.

Mari kita lakukan hitung-hitungan. Jakarta, salah satu kota terpadat di dunia, memiliki luas jalan 40,1km persegi atau 0,26% dari luas wilayah. Panjang jalan sekitar 7650km dengan pertumbuhan panjang jalan 0,01%pertahun. Hal ini tidak sebanding dengan tingginya angka perjalanan yang mencapai 20juta perhari. Mobil pribadi diperkirakan sebanyak 2.115.786 unit dan motor sebanyak 7.516.556 unit. Itu artinya jika kita menghitung luas rata-rata mobil adalah 7,56m persegi (4,2m x 1,8m) dikalikan dengan jumlah mobil yang ada, maka didapat luasan 15.995.342m persegi. Atau 40% dari luas jalan. Perhitungan ini dengan kondisi kasar tanpa memperhitungkan jarak jeda antar mobil (mobil dalam keadaan saling berdempetan) dan menganggap semua mobil adalah SUV ukuran menengah. Tambahkan jumlah motor, kendaraan umum seperti taksi, bus dan angkot, kendaraan dari luar kota yang. Melintasi Jakarta dan jarak jeda antar mobil, maka akan didapat angka yang fantastis.

Sekarang kita lakukan perhitungan skala kecil saja jika hitungan skala besar tadi dirasa memusingkan. Pertama-tama kita harus menyepakati bahwa transportasi umum adalah solusi terbaik permasalahan transportasi perkotaan, alih-alih pembuatan jalan layang sepuluh tingkat.

Kita ambil contoh suatu jalan yang macet di jam padat seluas 1500 meter persegi saja. Kita potong rata bahwa di jam macet, semua orang menggunakan SUV pribadi dengan luas rata-rata 7,56 meter persegi (4,2m x 1,8m). Dalam kenyataan, tak mungkin ada mobil jalan berdempetan. Jadi kita asumsikan jarak terpendek antar mobil sebesar 0,3m. Didapat luasan yang dibuthukan satu mobil adalah 9,45 meter persegi (4,5m x 2,1m). Rata-rata satu mobil diisi oleh 1,5 orang. Hal ini karena kebanyakan masyarakat menggunakan mobil benar-benar secara pribadi. Satu orang satu mobil atau satu orang+ supir satu mobil. Luasan yang dibutuhkan orang duduk adalah 1,05 meter persegi (0,7m x 1,5m). Artinya 1,5 orang membutuhkan ruang sebesar 1,575 meter persegi atau 16,7% luasan mobil. Jadi di jalan seluan 1500 meter persegi tadi mampu menampung 158 buah mobil (hitungan ini tidak mempertimbangkan konfigurasi geometris mobil) dan 237 manusia atau 99,5% mobil dan 16,59% manusia. Bayangkan lahan seluas 1500 meter persegi hanya berisikan 16,59% manusia, suatu pemborosan ruang yang sangat besar.

Bayangkan jika industri mobil lokal kita berkembang pesat hingga nanti akan lahir jutaan mobil ala EsEmKa. Perekonomian meningkat dan menimbulkan komposisi satu orang satu mobil. Orang akan terlena dengan iklan industri otomotif yang berani menjual mobil ramah lingkungan dengan harga murah. Orang tak perlu takut lagi menggunakan mobilnya bahkan cuma untuk membeli roti di toko depan perumahan hanya karena teknologi otomotif yang sedemikian maju.

Maka 9.588.198 jiwa penduduk Jakarta (data 2010). Akan membutuhkan 90.608.471 meter persegi ruang untuk mobil dengan catatan semua menggunakan SUV ukuran menengah. 12,16% luas Jakarta akan diisi mobil, padahal luas jalannya hanyalah 0,26% saja. Perhitungan tersebut belum termasuk penduduk pendatang yang tidak terdata dan penduduk luar kota yang melintasi Jakarta.

Transportasi umum massal yang nyaman adalah hal mutlak yang mesti ada di kota sepadat Jakarta. 1500 meter persegi jalan tadi yang diisi 237 orang dan 158 mobil seharusnya bisa dikonversikan ke dalam 3 buah bus trans Jakarta (1 bus menampung 85 penumpang, 31 tempat duduk). Jika satu bus trans Jakarta luas kasarnya adalah 36m (12m x 3m), maka hanya dibutuhkan 7,2% luas jalan untuk mobil. Penghematan ruang bukan?

Hitung-hitungan kasar ini membuktikan bahwa kita jangan sampai tertipu oleh kampanye pelestarian lingkungan oleh industri otomotif sehingga kita merasa tidak berdosa menggunakan mobil pribadi tanpa bijak. Pelestarian lingkungan memang penting, tetapi bukan berarti permasalahan transportasi perkotaan akan berakhir. Semua masalah harus dicabut hingga akarnya, bukan hanya daunnya saja.

Published with Blogger-droid v2.0.2

Sabtu, 28 Januari 2012

Mempertanyakan Usia Desain


Tiap awal tahun, kita selalu disuguhi tulisan yang bertemakan tren fashion tahun ini. Sesuatu yg membuat saya bertanya, sesingkat itukah tren fashion dunia?

Fashion adalah salah satu cabang dunia desain, seperti halnya desain produk, grafis, interior dan arsitektur. Boleh dikatakan fashion adalah anak emas yang dikutuk. Para penggiatnya terkenal bak aktor film, tetapi fashion selalu dikejar tren singkat dan segmented.

Di Kemang, Jakarta, ada sebuah studio furnitur yang berkembang. TrystLiving namanya. Digawangi desainer muda, Zacky Badarudin. Impian TrystLiving adalah furnitur produksinya dapat bertahan 100 tahun. Standar memang, tetapi itu impian semua desainer.

Jika kita beralih ke dunia arsitektur, banyak desain yang bertahan lama, banyak pula yang berumur singkat. Di Selatan Jakarta ada kantor yang pemiliknya akan merenovasi facadenya yg dulu dikerjakan AT6. Facade itu rencananya akan dibikan yang baru yang lebih atraktif, menutup facade lama rancangan AT6 pada tahun 90-an. Entah apa dosa biro ini, rancangan museum Nasional di Jakarta pun akan diperbarui. Masterplannya dan konon facadenya akan diperbarui oleh Aboday melalui sayembara Nasional. Sependek itukah usia desain?

Desainer sejati selalu memperlakukan desain seperti anaknya sendiri. Bayangkan seorang ibu yang merawat anaknya dengan perhatian besar dan hati-hati, melihatnya tumbuh dan berguna bagi lingkungannya. Mendesain bukanlah hal hitung-hitungan matematis. Hasil desain harus mampu bertahan lama, jika fisiknya tak mampu bertahan lama, tetapi ruhnya yg bisa bertahan lama menginspirasi setiap yang bersinggungan dengannya, menginspirasi generasi berikutnya. Kita harus banyak belajar dari Frank Lloyd Wright dan Apple Computer.

Published with Blogger-droid v2.0.2

Selasa, 17 Januari 2012

What do We Call a Gathering of Architects? a text by JODY BROWN




What do we call a gathering of Architects?
text by JODY BROWN

When animals gather in groups, we refer to them by an array of elegant terms: a Flock of Birds, a Herd of Sheep, a Swarm of Bees, a Smack of Jellyfish, an Array of Hedgehogs, a Pack of Elephants, a Clan of Bears, a Troop of Chimpanzees, an Exultation of Lark, an Unkindness of Raven, a Murmuration of Starlings, a Building of Rooks, a Fling of Sandpipers, a Wreck of Seagulls, a Gulp of Swallows, a Mutation of Thrush, a Brace of Ducks, a Piteousness of Doves… Piteousness? damn, the birds get the really good ones…

But, what do we call a collection of Architects? I think we need a name for it….

.

A Wandering of Architects

A Happenstance of Architects

A Coincidence of Architects

A Cluster of Architects

An Opposition of Architects

A Diametric Opposition of Architects

An Irony of Architects

A Ludwig of Architects

A Shrug of Architects

An Ennui of Architects

An Arrangement of Architects

An Argument of Architects (via @anthonylingwood)

A Carafe of Architects (via @flyballtosecond)

A Snark of Architects (via @flyballtosecond)

A Pod of Architects (via @Art_Vandalay_RA)

A Coven of Architects (via @jolocktov who also noted, they will already be wearing black)

A Program of Architects (via @turnageb)

An Elite of Architects (via @humantransit)

A Charrette of Architects (via Steve Arnaudin)

A Charade of Architects (via Steve Arnaudin)

A Presentation of Architects (via David Matero, he also got “mock-up” seconds after me)

A Trouble of Architects (via Rick Kaufman)

A Clamor of Architects (via Leslie Allen)

A Rafter of Architects (via Leslie Allen)

A Volume of Architects (via Barry Peterson)

A Dole of Architects (via @codykrice)

A Parti of Architects (via @dBakerdc)

An Austentation of Architects (via Kevin Wagner)

A Hierarchy of Architects

A Grid of Architects

A Fog of Architects

An Arrogance of Architects

A Critique of Architects

A Review of Architects

A Rendering of Architects

An Isolation of Architects

A Resistance of Architects

A Justification of Architects

A Juxtaposition of Architects

A Balance of Architects

A Shipping container of Architects

A Den (get it?) of Architects

A Foyer of Architects

A Patronage of Architects

A Measure of Architects

A Dimension of Architects

A Simplification of Architects

A Repetition of Architects

A Foundation of Architects

A Reinforcement of Architects

A Necessity of Architects

A Density of Architects

A Following of Architects

A Gathering of Architects

A Binding of Architects

A Regard of Architects

An Unbinding of Architects

An Xrefing of Architects

A BIM of Architects

A CAD of Architects

An Opening of Architects

A Fenestration of Architects

A Placement of Architects

A Displacement of Architects

A Siting of Architects

A Re-grading of Architects

A Disenchantment of Architects

A Disheartening of Architects

A Dichotomy of Architects

A Resemblance of Architects

A Preservation of Architects

A Balding of Architects

A Massing of Architects

A Miesing of Architects

A Representation of Architects

A Concept of Architects

A Conceit of Architects

A Mock-up of Architects

A Mocking of Architects

A Buckminster of Architects

An Urbane of Architects

A Precision of Architects

A Drawing of Architects

A Draft of Architects

A Set of Architects

A 95% set of Architects

A Revision of Architects

A Phase of Architects

A Schematic of Architects

A Contract of Architects

An Add Service of Architects

An Overlay of Architects

A Practice of Architects

An Atelier of Architects

.

well, A Pride of Architects

.

umm,

A Snide?

.

A Hypocrisy of Architects?

.

A Piousness of Architects?

.

.

A Pity of Architects

.

.

Right, I’ll stop now.


picture by http://www.archdaily.com/page/588/

Minggu, 15 Januari 2012

Timo Scheunemann dan Pembinaan Usia Muda


Published with Blogger-droid v2.0.2
Timo Scheunemann tidak memiliki darah Indonesia sedikutpun di garis keturunan leluhurnya. Dia hannyalah seorang pemain sepakbola berkebangsaan Jerman yang merumput di klub Indonesia, dan kemudian jatuh hati terhadap sepakbola Indonesia. Dia tidak seperti El Loco Gonsales yang kemudian mengubah kewarganegaraannya menjadi warga negara Indonesia dan membela timnas Indonesia.

Entah apa yang dipikirkan Timo, meninggalkan negara aslinya yang melahirkan teknologi dan talenta-talenta besar untuk mencetak tim-tim sepakbola berkualitas international. Dia memilih Indonesia, negara yang sepakbolanya jauh dari kata berhasil. Jika ada buku berjudul Sepakbola yang Payah, Indonesia bisa masuk dalam buku itu, bahkan dibahas di satu bab tersendiri. Timo menghabiskan tenaganya sebagai pemain, pelatih dan pembina pemain muda bagi negara dengan sepakbola buruk tersebut.

Timo dan Nurdin Halid, eks ketua PSSI, sama-sama punya cita-cita besar. Membuat sepakbola Indonesia jauh lebih baik. Jika Nurdin berambisi besar dengan selalu berusaha untuk menduduki kursi ketua PSSI, menulis buku tebal yg berisi visi sepakbola Indonesia kedepan dan dengan sombongnya mengatakan Indonesia siap menjadi tuan rumah World Cup 2022. Tidak demikian dengan Timo.

Timo cukup bersahaja. Dia dikenal dekat dengan pembinaan pemain muda. Dia mengeluarkan dua buku tipis tentang visinya dan teknik-teknik bermain sepakbola modern bagi sepakbola Indonesia. Dia bahkan memilih untuk tinggal di kota kecil, Malang, hidup diperkampungan Jawa, dan membina bibit-bibit muda Indonesia. Di bukunya dia hanya berkata, Indonesia mampu menjadi tim yang disegani di level international. Untuk itulah dia terjun langsung kelapangan, bersama anak-anak muda Indonesia demi impian suatu negara yang bukan negaranya sendiri.

Kisah Timo persis kisah dalam film-film Hoolywood, dimana seorang pria kulit putih, mendatangi suatu negara terbelakang, menjadi pejuang dan pahlawan di negara tersebut. Katakanlah The Last Samurai, Machine Gun Preacher, The Last King of Scotland, dll.

Timo belum berhasil seperti di film Hollywood. Tetapi semangatnya, seperti yang ia teriakkan di dua bukunya "Untuk Sepak bola Indonesia!", patut diapresiasikan. PSSI pun meliriknya untuk menjalankan program pembinaan pemain usia muda.

Ingatlah ketika Jepang terpuruk, ia membutuhkan seorang revolusioner Amerika dalam tubuh The Last Samurai. Ketika sepakbola Indonesia terpuruk, ia juga membutuhkan seorang revolusioner Jerman.

Published with Blogger-droid v2.0.2

Sabtu, 07 Januari 2012

Pahlawan

SDalam pewayangan, pahlawan tak digambarkan sebagai pria berotot besar, berdada bidang, dan perut sixpack. Pahlawan tak digambarkan sebagai manusia yang selalu membusungkan dada.


Pahlawan dalam pewayangan adalah mereka yang teduh hatinya, selalu menunduk dan membungkuk dan berpinggang tipis. Mereka adalah inspirasi, penolong, dan tak menyombongkan fisik.


Pahlawan sesungguhnya ada di setiap manusia, tanpa harus berfisik seperti Superman.


Published with Blogger-droid v2.0.2

Kamis, 05 Januari 2012

Tukang Bangunan dan Arsitek




Seorang tukang bangunan pernah membuatkan saya sebuah mainan garpu-garpuan dari kayu sisa material untuk membuat plafond rumah. Itu terjadi beberapa tahun lalu, ketika saya masih SD, ketika saya tak memiliki bayangan untuk menjadi arsitek.

Tukang tersebut saya kenal hingga kini karena ia adalah tukang keluarga saya. Seiring waktu, saya yang dulu adalah anak ingusan sekarang telah menjalani karir sebagai arsitek ingusan. Saya yang dulu main pasir material proyek, kotor-kotor, sambil menarik mainan truk berisi batu-batuan, dan terkadang terkagum-kagum melihat akrobat para tukang berjalan di ketinggian tanpa pengaman, sekarang tak lagi berkotor-kotor di atas pasir untuk bermain truk-trukan. Tetapi tukang tadi tetap berpanas-panas mengaduk semen, memotong kayu atau becek-becekan mengeruk lumpur. Tukang tetap selalu bersahaja tanpa pernah menerima penghargaan apapun dan namanya tak akan pernah muncul di majalah-majalah mahal.

Saya teringat beberapa saat lalu, milis arsitek di Indonesia menjadi panas gara-gara muncul sebuah buku berjudul "Menjadi Arsitek Semudah Membalik Telapak Tangan" yang di tulis oleh orang yang tak pernah mengenyam pendidikan arsitektur sama sekali. Banyak arsitek marah, merasa dilangkahi kehormatannya, sebagian merasa takut karena buku tersebut memprovokasi masyarakat untuk tidak menggunakan jasa arsitek. Para arsitek tersebut takut kehilangan uang.

Di lain cerita, seorang teman saya yang juga seorang arsitek merasa panik dan aktif di milis menyuarakan undang-undang arsitek yang tak kunjung disahkan negara. Ia takut sebagai lulusan PPArs dan S2, yang tentunya sudah menghabiskan uang banyak untuk pendidikannya yang tinggi itu, ia tak bisa mendapatkan uang yang banyak ketika berprofesi sebagai arsitek kelak jika Undang-undang Arsitek tak juga disahkan.

Entah kenapa saya selalu teringat kata-kata tukang saya waktu SD dulu. Ketika saya main mobil-mobilan di pasir, dia sedang makan siang sambil ngobrol dengan saya yang sedang main.

"Dek, boleh minta mobilnya satu" sambil menunjuk salah satu mobil truk saya  yang paling kecil dan jelek menurut saya.

"Buat apa?", tanya saya.

"Buat hadiah anak Om"

Entahlah, saat itu saya masih terlalu kecil untuk mengerti. Makanya mainan itu tak pernah saya berikan.

Published with Blogger-droid v2.0.2